Sabtu, 27 Agustus 2011

Resep Obat Sakit Mata

Secara diam-diam suatu hari Raja Harun Ar Rasyid pergi berekreasi ke suatu tempat. Ia ditemini seorang menteri bernama Ja’far, seorang teman minum bernama Ya’qub, dan Abu Nawas. Ketika sedang berjalan, dari kejauhan mereka melihat seorang kakek menunggang seekor keledai.

“Tanyai orang tua itu,” suruh sang Raja secara iseng kepada Abu Nawas.

Begitu dekat Abu Nawas menghampirinya.

“Maaf, Kek. Anda dari mana?” Tanya Abu Nawas.

“Dari Bashrah,” jawab si Kakek.

“Mau ke mana?”

“Mau ke Baghdad.”

“Ada keperluan apa?”

“Mencari obat untuk sakit mataku ini.”

Ketika si Kakek sedang memperlihatkan matanya sakit kepada Ja’far dan Ya’qub, sang Raja menarik tangan Abu Nawas.

“Kamu ajak ia bergurau,” bisik sang Raja.

“Jangan, Baginda. Kasihan orang tua. Saya takut ia akan marah,” jawab Abu Nawas.

“Sudahlah, itu nanti urusanku. Pokoknya ajak ia bergurau,” desak sang Raja.

“Baiklah, kalau begitu,” kata Abu Nawas.

Abu Nawas kembali menghampiri si Kakek.

“Kek, misalkan aku beri Anda resep untuk obat sakit mata Anda itu, imbalan apa yang akan Anda berikan padaku?” Tanya Abu Nawas.

“Pokoknya aku akan memberikan imbalan yang terbaik untukmu,” jawab si Kakek.

“Dengarkan baik-baik resep yang aku berikan ini.”

“Baik, lekas sebutkan.”

“Begini,” kata Abu Nawas. “Kakek ambil tiga tiupan angin, tiga sengatan terik matahari, tiga pantulan cahaya rembulan, dan ditambah tiga sorot lampu biasa. Setelah semua terkumpul, maka tumbuklah pada sebuah lumpang yang tak berlubang. Selanjutnya, Anda taruh ramaun yang sudah lembut itu ke dalam sebuah mangkok besar yang sudah pecah berkeping-keping, lalu Anda simpan di udara selama tiga bulan. Sesudah masa tiga bulan, maka oleskan ramuan itu ke mata Anda yang sakit sebanyak tiga kali sebelum tidur. Insya Allah Anda akan sembuh.”

Si Kakek tiba-tiba turun dari keledainya. Ia menghampiri Abu Nawas.

“Ambil keledai ini sebagai imbalan awal,” kata si Kakek sambil memalingkan wajahnya. “Dan jangan lupa, jika setelah menggunakan resepmu itu mataku jadi sembuh, aku akan memberimu lagi imbalan berupa seorang budak wanita yang setia melayanimu. Jika kelak ternyata kamu tega mati terlebih dahulu meninggalkan aku, budak wanita itu pasti sudah menjemputmu di neraka sana. Ia akan setia meludahi matamu dan memukul wajahmu sambil berteriak mengolok-olokmu.”

Mendengar jawaban si Kakek yang cukup telak itu sang Raja Harun Ar Rasyid seketika tertawa terpingkal-pingkal.

“Beri orang itu hadiah,” kata sang Raja sambil masih menahan tawanya.

“Terima kasih, Baginda,” jawab si Kakek dengan senang hati, kemudian ia pamit pergi.

Sang Raja melihat Abu Nawas terbengong-bengong di tempatnya. Karena merasa kasihan sehabis balik dikerjai oleh si Kakek gara-gara ulahnya, ia lalu menyuruh Ja’far untuk memberikan hadiah juga.

(Sumber : HUMORGATE oleh HA Soenarto, Rembang Pos No. 10 / Februari 2004)

KH Hasyim Asy’ari: Rindu Mengajar Anak Kecil

Suatu ketika KH Hasyim Asya’ari silaturrahim ke sahabat-sahabatnya di Kajen Pati Jawa Tengah. Antara lain Kiai Thohir, KH Salam, dll.

Silaturrahim ke Kiai Salam diantar oleh Kiai Thohir. Didapatinya Kiai Salam tengah mengajar anak-anak kecil yang masih belajar membaca Alquran. Kiai Hasyim bersembunyi untuk beberapa saat, menunggu sampai mengajinya selesai. Barulah kemudian muncul dan bercengkerama dengan Kiai Salam.

Usai silaturrahim ke Kiai Salam, tampak wajah Kiai Hasyim murung. Seperti ada duka mendalam tampak di wajahnya.

“Kiai, ada apa gerangan? Kenapa bersedih?” Tanya Kiai Thohir.

”Bagaimana tidak sedih. Aku melihat Kiai Salam begitu istiqomah mengajar anak-anak kecil.”

”Lalu?”

”Aku rindu mengajar anak-anak kecil seperti Kiai Salam.”

Tentu saja Kiai Thohir keheranan. Seorang Kiai besar macam Kiai Hasyim yang murid-muridnya adalah Ulama-Ulama besar di Jawa, masih rindu mengajar anak-anak kecil. Konon mengajar anak-anak kecil keutamaannya sungguh besar.

(Diceritakan kembali oleh KH Yahya Cholil Staquf, saat mengisi Mauidhoh Hasanah di Haflah Maulid Nabi dan Haul Kiai Nawawi dan Masyayikh di Madin Nawawiyyah Tasikagung Rembang, Sabtu 5 Februari 2011) (Ali Shodiqin)

Jumat, 26 Agustus 2011

Jadilah Orang Murah Hati dan Memaafkan

Terkadang orang itu harus memiliki hati yang lembut, belas kasihan, dan mudah memaafkan. Tidak seperti sekarang ini, orang suka main hakim sendiri, dan terkadang menghukum berat orang kecil gara-gara kesalahan kecil, mencuri misalnya, padahal ia tengah dilanda kelaparan. Betapa ketidakadilan di dunia ini sangat jomplang.

Sementara banyak pembesar yang korup besar hanya dihukum ringan bahkan bebas. Bisa dibayangkan, seperti apa kira-kira hisab antara pejabat kaya yang korup dengan orang miskin yang teraniaya di dunia. Sebuah kehidupan yang sia-sia untuk pembesar yang korup, padahal hidup itu singkat, tahu-tahu ia tua, dan tidak memiliki jabatan. Sementara perjalanan menuju akherat sangat panjang.

Buku kecil “Kisah-Kisah Langka dan Ajaib” yang diterjemahkan oleh Abdul Kholiq dari penerbit Daarus Salaam Kertosono mengisahkan seorang pejabat yang baik, yang pemaaf.

Dikisahkan, bahwa Raja Bahrom pada suatu hari keluar untuk berburu, maka ia melihat keledai liar, lalu keledai itu diikuti sampai ia lepas dari pengawalnya. Akhirnya raja dapat menangkap keledai itu dan turun dari kudanya karena hendak menyembelih keledai.

Sementar itu, tiba-tiba dilihatnya ada seorang penggembala yang datang dari padang pasir.

“Wahai penggembala! Tolong peganglah kudaku ini agar aku dapat menyembelih keledai ini,” pinta Raja Bahrom.
Maka penggembala itu memegangnya dan sang Raja sibuk menyembelih keledai. Sementara itu raja melirik maka dilihatnya si penggembala sedang memotong permata yang ada di pipi kudanya, maka raja berpaling pura-pura tidak tahu sampai si penggembala mengambilnya. Dalam hati raja berkata: “Sesungguhnya melihat aib itu juga termasuk aib.”

Setelah rampung, Raja kembali naik kudanya dan bertemu dengan para pengawalnya.
“Wahai Baginda Raja yang berbahagia! Di manakah permata yang ada di pipi kuda tuan?” Tanya salah satu mantrinya.

Maka sang Raja hanya tersenyum, lalu mengatakan: “Diambil oleh orang yang tidak akan mengembalikannya dan diketahui oleh orang tidak akan menceritakannya. Oleh sebab itu barang siapa diantara kalian semua ada yang melihat dibawa oleh seseorang maka jangan menyindir, menegur padanya dengan apapun.”

(Ali Shodiqin)

Senangnya Punya Anak Saleh

Jangan dianggap remeh anak keturunan. Jika anak-anak menyimpang dari agama, maka orang tualah yang menuai akibatnya. Jika anak lurus agamanya atau anak yang saleh salehah, maka orang tua pula yang menerima ganjarannya.

Dikisahkan dalam buku kecil “Kisah-Kisah Langka dan Ajaib” yang diterjemahkan oleh Abdul Kholiq dari penerbit Daarus Salaam Kertosono mengisahkan tentang anak yang saleh tersebut.

Diceritakan ada seorang hakim yang meninggal dunia, ia meninggalkan seorang istri yang sedang mengandung. Lalu istrinya melahirkan anak laki-laki. Ketika anak itu sudah mulai tumbuh maka ibunya mengirimkannya ke madrasah.

Di madrasah ia diajari bacaan “BISMILLAAHIRROHMAANIRROHIIM” oleh gurunya, maka Allah menghilangkan siksaan ayahnya dan berfirman:

“Wahai Jibril! Sungguh tidaklah patut bagi Kami kalau anaknya menyebut Kami sedangkan ia (ayahnya) disiksa, maka pergilah dan ucapkan selamat padanya.”

Lalu malaikat Jibril pergi kesana dan mengucapkan selamat padanya.

(Ali Shodiqin)

Makanan Halal atau Haram?

Betapa seorang penguasa tidaklah ringan hisabnya kelak di hari kiamat. Dia menanggung beban yang tak terkira, walaupun dia adalah penguasa yang baik. Bagaimana jika penguasa itu adalah penguasa yang korup? Saya hubungkan kisah ini dengan penguasa adalah karena merekalah yang memiliki kesempatan luas mengeruk harta kekayaan negara dengan cara yang haram.

Buku kecil “Kisah-Kisah Langka dan Ajaib” yang diterjemahkan oleh Abdul Kholiq dari penerbit Daarus Salaam Kertosono mengisahkan seorang laki-laki yang tidak tenang hatinya gara-gara sedulit makanan yang dimakan ibunya dulu. Bagaimana jika hal itu dilakukan para pejabat dan kroco-kroconya dalam menguras uang rakyat?

Kisah ini dari Abu Yazid Al Basthomy, bahwa ia beribadah kepada Allah sudah beberapa tahun lamanya tetapi ia tidak merasakan kesenangan dan kemanisan dalam beribadah, lalu ia mengunjungi ibunya dan mengatakan padanya:

“Wahai Ibuku! Sungguh aku dalam beribadah dan taat belum pernah merasakan kemanisan dan kesenangan, maka renungkanlah apakah bunda pernah makan sesuatu dari makanan haram ketika aku berada di perut ibu atau ketika aku menyusu?”

Lalu ibunya merenung dalam waktu yang lama, kemudian mengatakan :
“Wahai anakku, ketika kamu masih berada di perutku, aku naik ke rumah bertingkat, aku lihat bejana berisi keju, maka aku ingin memakannya, lalu aku makan keju itu kira-kira seujung jari tanpa seijin pemiliknya.”

Lalu Abu Yazid mengatakan: “Hal itu tidak lain kecuali ini, maka kumohon pergilah ibu pada pemiliknya dan beritahukan hal itu padanya.”

Kemudian ibunya pergi pada pemiliknya dan memberitahukan hal itu padanya, maka pemiliknya mengatakan: “Itu halal bagi kamu.”

Lalu ibunya mengabarkan padanya tentang hal itu, maka sejak itulah ia merasakan kesenangan dan kemanisan dalam taat dan beribadah.

(Ali Shodiqin)

KIBUL

Mendengar informasi Raja HarunAr Rasyid akan mengadakan kunjungan ke sebuah dusun di wilayah Baghdad, tiga hari sebelumnya Abu Nawas berangkat ke desa itu. Di sana ia tinggal di rumah seorang sahabatnya. Tepat pada hari kunjungan sang Raja, tanpa pengetahuan sahabatnya Abu Nawas keluar dengan menyamar sebagai seorang petani tua. Ia sedang berjalan di pematang ketika rombongan raja lewat.Seperti yang diharapkan sang Raja turun dari kuda dan menghampirinya.

“Mau ke mana, Pak?” Tanya sang Raja.

“Mau ke ladang,” jawab Abu Nawas acuh.

“Bagaimana keadaan warga dusun ini?”

“Biasa-biasa saja. Sama seperti warga dusun-dusun lain.”

“Maksud bapak?”

“Ya, ada yang sehat ada yang sakit. Ada yang kaya ada yang miskin. Ada yang senang ada yang sedih. Dan seterusnya.”

“Apa pendapat bapak tentang penguasa negeri ini?”

“Terus terang saja, baru kali ini seumur hidup saya punya Raja yang benar-benar kurang ajar!”

“Kenapa, Pak?”

“Ya, selain zalim dia itu kikirnya bukan main. Orang miskin seperti saya ini sama sekali tidak pernah dipikirkan nasibnya. Konon katanya ia suka berfoya-foya dan gila terhadap wanita. Uang rakyat ia hambur-hamburkan seenak perutnya.”

“Apa yang bapak harapkan untuk dia, Pak?”

“Harapan saya hanya satu. Mudah-mudahan dia lekas mati, supaya di akherat dia dimintai pertanggungan jawab oleh Allah.”

“Bapak tahu, siapa aku ini?” Tanya sang Raja yang nampaknya sudah mulai tidak sabar menahan kemarahannya.

“Belum.”

“Kenalkan, aku adalah penguasa yang kamu hujat itu.”

“Oh….,” kata Abu Nawas pura-pura terperanjat. “Dan Baginda Raja tahu siapa sebenarnya saya ini?”

“Belum.”

“Kenalkan, saya ini orang yang sering mengidap penyakit gila. Kalau kebetulan sedang banyak uang saya sembuh. Tetapi kalau sedang melarat seperti sekarang ini penyakit gila saya kambuh, sehingga saya suka berkata yang bukan-bukan. Maafkan saya, mungkin tadi saya menyinggung Baginda.”

“Apakah kamu senang kalau penyakit gilamu kambuh?”

“Tentu saja tidak. Hanya kadang-kadang saja Baginda. Sebab katanya, orang gila itu bebas dari tuntutan hukum.”

“Supaya tetap sembuh, terimalah hadiah uang lima ratus dinar ini.”

“Terima kasih, Baginda. Saya doakan semoga Bagina panjang umur, banyak rezeki, dan hidup tentram,” kata Abu Nawas.

(Sumber : HUMORGATE oleh HA Soenarto, Rembang Pos no. 21-31 Juli 2003)

Minggu, 21 Agustus 2011

DASAR BODOH

Pada suatu hari Raja Harun Ar Rasyid sedang duduk santai bersama Zubaidah sang permaisurinya. Mereka membicarakan tentang kedua putranya, yakni Al Amin yang terkenal sangat bodoh dan Al Makmun yang terkenal cerdas dan pintar terutama dalam bidang ilmu sastra.

Sang Raja sangat menyayangi Al Makmun karena kecerdasan dan kepintarannya tersebut, sehingga ia sering memujinya di depan permaisurinya. Dan itu yang membuat sang permaisuri tidak suka, lantaran sang Raja dianggap menganak tirikan Al Amin, padahal keduanya sama-sama putranya.

“Kenapa Anda tidak begitu menyukai Al Amin?” Tanya sanga permaisuri Zubaidah.

“Karena ia tidak bisa membuat syair dan tidak kenal ilmu sastra, jawa sang Raja.

“Aku kira kalau mau Al Amin akan lebih menguasai ilmu sastra daripada saudaranya. Sebab sebenarnya ia lebih cerdas. Ia hanya malas saja,” kata sang permaisuri mencoba membela Al Amin.

“Coba saja buktikan.”

“Baik, tidak lama lagi Anda akan melihat buktinya.”

Pada suatu siang sang permaisuri memanggil putranya Al Amin.

“Aku baru saja bertengkar dengan ayahmu mengenai dirimu,” kata sang permisuri kepada putranya tersebut. “Aku tidak rela kamu dipandangnya sebelah mata dan disbanding-bandingkan dengan kakakmu. Karena itu kamu harus bisa menandinginya. Mulai sekarang kamu tekun mempelajari ilmu sastra, supaya menjadi seorang penyair yang hebat.”

Sorenya Al Amin pergi meninggalkan istana menuju ke sebuah tempat yang sepi. Di tempat itulah ia mencoba mengasah pikirannya yang bebal. Ia berusaha menulis bait-bait syair tanpa bimbingan siapapun.

Beberapa pecan kemudian setelah merasa mampu menguasai ilmu sastra dan menulis bait-bait syair, Al Amin pulang ke istana.

“Jadi kamu sekarang sudah bisa menulis syair, putraku?” Tanya sang permaisuri Zubaidah ketika menyambut kedatangan putranya tersebut dengan gembira.

“Sudah,” jawab Al Amin.

“Kalau begitu biar besok aku panggil Abu Nawas untuk mengetes karya syairmu.”

Esoknya pagi-pagi sekali Abu Nawas sudah muncul di istana memenuhi panggilan sang permaisuri.

“Abu Nawas, coba kamu dengarkan karya syair putraku ini,” kata sang permaisuri dengan bangga.

“Baik, silahkan,” kata Abu Nawas.

Al Amin lalu membacakan beberapa syair sebagai berikut:

Kami adalah keturunan Bani Abbas

Kami duduk di atas kursi

Abu Nawas hampir tidak sanggup menahan tawanya mendengar syair tersebut.

“Bagaimana?” Tanya Al Amin kepada Abu Nawas.

“Ya, begitulah. Kalian memang dari keturunan yang mulia,” jawab Abu Nawas ngeledek. “Tapi coba teruskan.”

Kami berperang

Dengan pedang dan tombak pendek

“Syair macam apa itu!” Komentar Abu Nawas yang sudah tidak mau berbasa-basi lagi.

Al Amin marah bukan main mendengar cemooh Abu Nawas tersebut. Ia lalu menyuruh seorang pasukan istana untuk memasukkan Abu Nawas ke dalam penjara.

Selama beberapa hari Abu Nawas tidak pernah muncul di istana, sehingga Raja Harun Ar Rasyid merasa rindu. Belakangan sang Raja mendengar kabar bahwa Abu Nawas dimasukkan penjara oleh Al Amin. Ia kemudian mengajak putranya itu ke penjara untuk menjenguk Abu Nawas.

“Kenapa kamu memenjarakannya?” Tanya sang Raja.

Al Amin kemudian menceritakan semuanya.

“Yang sangat menyakitkan ia telah berani mencemooh syair karyaku, Baginda Ayah,” kata Al Amin.

“Tentu saja karena memang karyamu jelek. Dia itu kan memang seorang penyair hebat. Jadi bisa menilai mana karya syair yang bagus dan yang tidak bagus. Lagi pula apa yang ia katakana itu jangan kamu anggap sebagai cemooh, melainkan sebuah kritikan yang harus kamu terima dengan lapang dada,” kata sang Raja menasehati.

“Baik. Kalau begitu beri lagi aku kesempatan waktu untuk memperbaiki karya syairku,” kata Al Amin sambil beranjak pergi.

Untuk kedua kalinya Al Amin pergi ke tempat yang sepi guna mengasah pikiran dan mendalami ilmu sastra agar bisa menulis syair yang benar-benar bagus tidak seperti sebelumnya. Dan beberapa pekan kemudian ia sudah pulang ke istana.

Esoknya pagi-pagi sekali Baginda Raja Harun Ar Rasyid, Abu Nawas, dan beberapa penyair sudah berada di istana. Rupanya pertemuan itu sudah diatur oleh sang permaisuri Zubaidah. Ia ingin mereka mendengarkan karya syair putranya yang baru pulang mendalami ilmu sastra.

“Dengarkan karya syair putraku Al Amin,” kata sang permaisuri Zubaidah.

“Baik, silahkan,” sahut Abu Nawas.

Al Amin pun mulai membaca karya syairnya :

Hai binatang yang duduk bersimpuh

Rasanya tidak ada yang setolol kamu

Kamu seperti hidangan kinafah

Yang diolesi dengan biji hardal dan

Minyak sapi yang kental

Seperti warna seekor kuda belang

Selesai mendengar syair tersebut Abu Nawas langsung bangkit dan hendak berlau dari tempatnya.

“Kemana kamu, Abu Nawas?” Tanya sang Raja Harun Ar Rasyid.

“Balik ke penjara saja, Baginda. Sebentar lagi putramu ini pasti akan menyuruh polisi membawaku ke sana,” jawab Abu Nawas.

Sang Raja tertawa terpingkal-pingkal mendengar jawaban Abu Nawas itu. Sementara sang permaisuri Zubaidah hanya bisa duduk bengong. Kini ia yakin bahwa putranya Al Amin memang bodoh.

(Sumber : HUMORGATE oleh HA Soenarto, Rembang Pos no. 4 / Agustus 2003)

ABUNAWAS: Tulang Kepala Kambing

Pada suatu hari gara-gara tulang kepala kambing Abu Nawas terlibat cekcok dengan seorang kawan dekatnya bernama Hatim. Karena tidak ada yang mau mengalah, kedua pihak sepakat untuk menghadap Raja Harun Ar Rasyid.

“Ada apa kalian sampai bertengkar?”Tanya sang Raja.

“Begini Baginda,” kata Hatim mencoba menjelaskan. “Tempo hari kami sepakat membeli kepala kambing dengan cara patungan. Kepala kambing itu dimasak di rumahku, dan telah kami makan bersama. Sepeninggalan dia tulang-tulang kambing itu aku kumpulkan kembali kemudian aku gantung di depan rumahku sebagai hiasan. Lumayanlah daripada beli. Namun baru sehari semalam tulang-tulang itu lenyap. Setelah aku cari belakangan ketahuan dialah yang mengambilnya, dan dipasang di depan rumahnya. Ketika akan aku ambil lagi dia malah marah-marah.”

“Apa benar begitu, Abu Nawas?” Tanya sang Raja.

“Memang benar, Baginda,” jawab Abu Nawas. “Tetapi tolong dengar dulu penjelasanku. Seperti yang Anda dengar sendiri kepala kambing itu dibeli dengan cara patungan. Jadi sudah adil kalau tulang-tulangnya itu dimanfaatkan secara bergantian. Sehari semalam dipasang di rumahnya dan sehari semalam berikutnya dipasang di rumahku. Begitu seterusnya.”

“Tidak bisa. Kepala kambing itu kan dimasak di rumahku dan menggunakan alat-alat dapurku. Sebagian imbalannya wajar kalau tulang-tulangnya itu menjadi milikku,” kata Hatim.

“Benar. Tetapi harus diingat bahwa kamu juga telah menikmati asap sedap berbau daging di dapurmu secara gratis. Jadi itu sudah merupakan imbalan untuk pemakaian alat-alat dapurmu,” sergah Abu Nawas.

“Sudah…. Sudah! Seumur hidup baru aku temui orang sekikir kalian ini!” Kata sang Raja Harun Ar Rasyid dengan kesal sambil terus beranjak.

(Sumber : HUMORGATE oleh HA Soenarto, Rembang Pos, 10-20 Juli 2003)

Kamis, 18 Agustus 2011

Abunawas: Obat Sakit Perut

OBAT SAKIT PERUT

Seseorang iseng-iseng ingin meledek Abu Nawas.

“Abu Nawas, saya mengidap banyak penyakit,” katanya bersandiwara.

“Memangnya kenapa?” Tanya Abu Nawas.

“Begini, saya ingin Anda mau mengobati penyakit-penyakit saya ini.”

“Sebutkan saja penyakit-penyakitmu itu.”

“Begini, perut saya sering sakit. Setiap kali rambut di dagu saya tumbuh, perut ini tersa mual-mual . Makanan enak-enak yang saya makan selalu keluar dari anus saya menjadi benda-benda lunak yang sangat menjijikkan. Dan cuaca di dalam perutku gelap sekali.”

“Begini,” jawab Abu Nawas. “Mual-mual yang sering terasa di perutmu itu bisa diobati dengan pisaumu sendiri. Adapun untuk mengatasi kegelapan dalam perutmu itu, sebaiknya kamu gantungkan sebuah lentera kecil supaya cuacanya terlihat terang.”

Mendengar jawaban Abu Nawas tersebut, orang tadi segera berlalu dengan kesal.

(Sumber : HUMORGATE oleh HA Soenarto, Rembang Pos no. 7 Nopember 2003)

Abunawas: KEBETULAN

Suatu hari Abu Nawas sedang mengendarai keledai yang lari kencang. Ketika melintasi sebuah tikungan, keledainya menabrak seorang nenek yang hendak menyeberang. Si nenek jatuh terjerembab. Abu Nawas menghentikan keledainya. Buru-buru ia turun dan menghampiri si nenek. Ia kaget, sebab si nenek ternyata salah seorang pasien yang dua hari lalu datang berobat kepadanya.

“Nah, apa aku bilang. Seharusnya kamu belum boleh keluar rumah. Beginilah akibatnya kalau kamu bandel,” kata Abu Nawas.

(Sumber : HUMORGATE oleh HA Soenarto, Rembang Pos no. 7 Nopember 2003)

Abunawas: CEMBURU

Sejak terkenal sebagai tabib yang kondang, memang banyak tamu yang berkunjung ke rumah Abu Nawas. Sebagian di antara mereka adalah wanita-wanita muda. Hal itu rupanya menimbulkan rasa cemburu pada istrinya.

Suatu hari Abu Nawas diomeli istrinya.

“Dahulu sebelum menikah, kamu bilang aku ini sebanding dengan dunia seisinya. Tetapi tempo hari hal yang sama kamu katakana kepada salah seorang pasien wanitamu.”

“Apa kamu lupa, bahwa dalam hidup ini ada dunia lama dan ada dunia baru?” Jawab Abu Nawas.

(Sumber : HUMORGATE oleh HA Soenarto, Rembang Pos no. 7 Nopember 2003)

Abunawas: Tetangga yang Angkuh dan Kikir

Abu Nawas kedatangan seorang sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Pada suatu sore Abu Nawas mengajaknya berjalan-jalan keliling kota Basrah. Dalam perjalanan mereka bertemu dengan seorang tetangga Abu Nawas yang terkenal sangat angkuh dan kikir.

Abu Nawas tersenyum dan member hormat dengan cara menganggukkan kepala. Tetapi orang tadi tidak membalasnya. Bahkan tersenyum pun tidak.

“Siapa orang tadi?” Tanya sabahatnya.

“Tetangga saya,” jawab Abu Nawas.

“Kenapa ia bersikap begitu?” Tanya sahabatnya.

“Ia memang sudah terbiasa tidak mau mengembalikan apapun kepada orang lain,” jawab Abu Nawas.

(Sumber : HUMORGATE oleh HA Soenarto, Rembang Pos no. 7 Nopember 2003)

Senin, 30 Mei 2011

DOA DARI KH ARWANI KUDUS

Setiap orang pasti akan membayangkan, seorang Kiai besar yang hafal Alquran akan mengajari doa atau ijazah kepada santri dengan doa berbahasa Arab yang panjang.

Bagaimana jika Kiai besar tersebut justru mengajari doa yang sangat pendek, mudah dicerna, mudah dipahami dan mudah dihafal, dan berbahasa Jawa pula. Kiai tersebut adalah Kiai Arwani Kudus, seorang Kiai hafal Alqur’an dan banyak menelurkan Kiai-kiai yang tersebar di Indonesia. Beliau pernah memberi ijazah doa berbahasa Jawa. Inilah doa dari Kiai Arwani tersebut :

“Ya Allah, mugi Panjenengan paring dumateng kawula lan keluarga kula kamulyan ndonya akherat, beja donya akherat lan slamet ndonya akherat.”

Demikian keterangan dari KH Zaenal Mustofa Blora saat memberikan mauidhoh hasanah di Pengajian Maulid Nabi Muhammad SAW di Masjid Al Burhan Tanjungsari Rembang Jawa Tengah Indonesia. (Ali Shodiqin)

Selasa, 29 Maret 2011

Gus Dur dan Kiai Khudori : Naik Selinder Saat Ngaji

Gus Dur dan Kiai Khudori: Naik Selinder Saat Ngaji

Sebuah selinder lewat di depan pondok.

“Ayo naik selinder itu!” AjakGus Dur tiba-tiba pada Khudhori, setelah tahu gurunya tertidur pulas saat mengajar.

Alkisah, Abdurrohman Wahid alias Gus Dur ketika masih remaja dipondokkan ke Ulama teman ayahnya, KH Abdul Fattah, Tambakberas, Jombang. Mengingat Gus Dur adalah putra temannya sendiri yang juga seorang Ulama, Kiai Fattah mulang ngaji secara khusus kepada Gus Dur. Tidak dikumpulkan dengan santri-santri yang lain.

Agar Gus Dur tidak sendirian, maka dipanggillah seorang santri lain yang sebaya Gus Dur bernama Khudhori.

Tibalah saatnya mengajar Gus Dur dan Khudhori. Yang namanya Ulama besar, Kiai Fattah pastilah sudah sangat sibuk sekali. Sehingga tiba saatnya mengajar Gus Dur sudah kelelahan. Acapkali di tengah-tengah mengajar Kiai Fattah tertidur pulas. Dua bocah di depannya hanya bisa bengong menunggu gurunya yang tengah tertidur.

Saat itulah ada selinder lewat di depan pondok.

“Ayo naik selinder itu!” AjakGus Dur tiba-tiba pada Khudhori, setelah tahu gurunya tertidur pulas saat mengajar.

Mereka segera menghambur keluar dan naik selinder yang berjalan bak bekicot itu. Walaupun jalannya lambat, mereka sampai juga di Mojoagung, kampung sebelah. Merasa sudah jauh, mereka turun dan kembali pulang ke pondok.

Sampai di pondok,didapatinya Kiai Fattah masih tertidur. Namun tidak lama kemudian terbangun.

“Sampai di mana tadi?” tanya Kiai bermaksud menanyakan halaman kitab kuning yang akan diajarkan.

”Sampai di Mojoagung, Yi!” Spontan Khudhori menjawab.

Kiai Fattah: ”?????......”

Gus Dur hanya tertawa ngakak.

Belakangan Gus Dur dan Khudhori menjadi Ulama besar di zamannya.

(Diceritakan kembali oleh KH Yahya Cholil Staquf, saat mengisi Mauidhoh Hasanah di Haflah Maulid Nabi dan Haul Kiai Nawawi dan Masyayikh di Madin Nawawiyyah Tasikagung Rembang, Sabtu 5 Februari 2011) (Ali Shodiqin)