Selasa, 12 Desember 2017

KIAI MUSLIH DAN MALING

Di sebuah bilik toko kecil dan gelap itu, seorang laki-laki tak diundang tengah mengendap endap ke sana kemari. Ia mengumpulkan sesuatu kemudian dimasukkan karung. Setelah dirasa cukup membawa barang yang mungkin nilainya tidak seberapa, si maling hendak pulang. Ia mencari jalan keluar yang awalnya dia masuk tadi. Namun pintu masuk sebelumnya tidak ditemukan lagi.
“Mungkin salah pintu,” begitu batinnya. “Pasti ada pintu lainnya!”
Sebagai maling yang diburu waktu, ia mulai merasakan kepanikan. Waktu adalah keselamatan, mungkin begitu semboyannya. Selalu saja pintu yang dituju itu ternyata bukan pintu, tapi sebidang dinding yang tidak mungkin bisa dilewati. Bahkan setiap jengkal dinding ia telusuri, sedikitpun tidak ditemukan pintu. Atau semacam jendela yang bisa didongkel. Atau celah dinding rusak pun tidak ditemukan. Hingga kelelahan dan kakinya lemas, si maling tetap juga tidak menemukan jalan keluar. Hingga akhirnya ia terduduk pucat pasi di pojok ruangan menungu nasib.
“Tamatlah riwayatku!” Ia menghela nafas berat.
Ia membayangkan tuan rumah akan berteriak-teriak: “Maling...maling!!” Dalam sekejab orang-orang datang dan menangkapnya. Kemudian mereka memukulinya membabi buta. Setelah puas dipukuli, dirinya diserahkan ke Polisi. Dihukum!  Ia membayangkan hari-hari panjang di balik jeruji besi di hotel prodeo, alias penjara. Ia pikirkan pula bagaimana nasib anak-anak dan istrinya. Tiba-tiba ia menjadi seorang yang lemah tak berdaya, seperti kucing yang lagi sakit kecemplung comberan. Padahal sebelumnya ia adalah seorang laki-laki gagah perkasa, penuh keberanian. Sekaligus penuh kenekatan, walaupun itu salah! Tak terasa setetes embun mengalir dari pojok matanya.
Saat itulah Kiai Muslih, pemilik rumah tengah bangun dan melewati ruang tokonya dari dalam rumah. Melihat ada orang yang ketakutan di pojokan toko, Kiai Muslih heran.
“Kang, ngapain di situ?” Tanya Kiai Muslih.
Gragap!!! Betapa kagetnya si maling. Ia tidak kuasa menjawab. Ketakutannya makin menjadi manakala Kiai mendekatinya. Kiai Muslih tanggap akan ketakutan si maling.
“Sudah di sini saja. Aku akan shalat dulu, nanti kita bisa sahur bersama!” Kata Kiai Muslih sambil berlalu menuju tempat wudhu.
Si maling tampak lega. Wajahnya yang semula gelap penuh ketakutan menjadi cerah kembali. Beberapa saat ditunggu, Kiai Muslih kembali lagi usai melaksanakan shalat malam.
“Kang, ayo ke sini. Temani aku makan sahur!” Panggil Kiai Muslih.
Si maling tidak bisa menolak. Ia merasakan kesejukan yang luar biasa, padahal sebelumnya ia merasakan hawa pengap dan panas membakar. Tanpa banyak bicara, jelang fajar itu ia ikut makan bersama Kiai Muslih yang tengah sahur. Setelah selesai makan, Kiai Muslih tidak mengucapkan apa-apa kecuali memberi sedikit uang untuk dibawa pulang si maling.
“Ini uang sedikit untuk sangu pulang. Hati-hati di jalan ya Kang!” Kata Kiai Mulsih mengantarkan tamunya keluar rumah.
Si maling mencucup tangan Kiai Muslih sambil menahan tangisnya, walaupun lelehan air mata tidak bisa dihindari. Kali ini ia benar-benar menangis. Berkali-kali minta maaf dan mengucapkan terima kasihnya kepada Kiai Muslih, kemudian berlalu di kegelapan malam.
Si maling dilepas dengan damai oleh Kiai Muslih. Bukan berarti Kiai Muslih tidak paham akan hukum maling serta konsekuensi hukumannya, tapi sebagai ulama tidak semudah itu menghukum orang salah. Ada pesan kearifan Islam yang hendak disampaikan. Kiranya dakwah dengan perbuatan akan berdampak lebih mendalam dan panjang daripada dakwah dengan lisan. Diharapkan kelak si maling menjadi tersadar, dan anak keturunannya menjadi orang baik-baik. Wallahu a’lam.   (Ali Shodiqin)


(Sebagaimana diceritakan oleh KH. Yahya Cholil Staquf pada Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan 1437 H di Masjid Agung Rembang, Jawa Tengah)