Di sebuah bilik toko
kecil dan gelap itu, seorang laki-laki tak diundang tengah mengendap endap ke
sana kemari. Ia mengumpulkan sesuatu kemudian dimasukkan karung. Setelah dirasa
cukup membawa barang yang mungkin nilainya tidak seberapa, si maling hendak
pulang. Ia mencari jalan keluar yang awalnya dia masuk tadi. Namun pintu masuk
sebelumnya tidak ditemukan lagi.
“Mungkin salah pintu,”
begitu batinnya. “Pasti ada pintu lainnya!”
Sebagai maling yang
diburu waktu, ia mulai merasakan kepanikan. Waktu adalah keselamatan, mungkin
begitu semboyannya. Selalu saja pintu yang dituju itu ternyata bukan pintu,
tapi sebidang dinding yang tidak mungkin bisa dilewati. Bahkan setiap jengkal
dinding ia telusuri, sedikitpun tidak ditemukan pintu. Atau semacam jendela
yang bisa didongkel. Atau celah dinding rusak pun tidak ditemukan. Hingga
kelelahan dan kakinya lemas, si maling tetap juga tidak menemukan jalan keluar.
Hingga akhirnya ia terduduk pucat pasi di pojok ruangan menungu nasib.
“Tamatlah riwayatku!”
Ia menghela nafas berat.
Ia membayangkan tuan
rumah akan berteriak-teriak: “Maling...maling!!” Dalam sekejab orang-orang
datang dan menangkapnya. Kemudian mereka memukulinya membabi buta. Setelah puas
dipukuli, dirinya diserahkan ke Polisi. Dihukum! Ia membayangkan hari-hari panjang di balik
jeruji besi di hotel prodeo, alias penjara. Ia pikirkan pula bagaimana nasib
anak-anak dan istrinya. Tiba-tiba ia menjadi seorang yang lemah tak berdaya,
seperti kucing yang lagi sakit kecemplung comberan. Padahal sebelumnya ia
adalah seorang laki-laki gagah perkasa, penuh keberanian. Sekaligus penuh
kenekatan, walaupun itu salah! Tak terasa setetes embun mengalir dari pojok
matanya.
Saat itulah Kiai
Muslih, pemilik rumah tengah bangun dan melewati ruang tokonya dari dalam
rumah. Melihat ada orang yang ketakutan di pojokan toko, Kiai Muslih heran.
“Kang, ngapain di
situ?” Tanya Kiai Muslih.
Gragap!!! Betapa
kagetnya si maling. Ia tidak kuasa menjawab. Ketakutannya makin menjadi
manakala Kiai mendekatinya. Kiai Muslih tanggap akan ketakutan si maling.
“Sudah di sini saja.
Aku akan shalat dulu, nanti kita bisa sahur bersama!” Kata Kiai Muslih sambil
berlalu menuju tempat wudhu.
Si maling tampak lega.
Wajahnya yang semula gelap penuh ketakutan menjadi cerah kembali. Beberapa saat
ditunggu, Kiai Muslih kembali lagi usai melaksanakan shalat malam.
“Kang, ayo ke sini.
Temani aku makan sahur!” Panggil Kiai Muslih.
Si maling tidak bisa
menolak. Ia merasakan kesejukan yang luar biasa, padahal sebelumnya ia merasakan
hawa pengap dan panas membakar. Tanpa banyak bicara, jelang fajar itu ia ikut
makan bersama Kiai Muslih yang tengah sahur. Setelah selesai makan, Kiai Muslih
tidak mengucapkan apa-apa kecuali memberi sedikit uang untuk dibawa pulang si
maling.
“Ini uang sedikit untuk
sangu pulang. Hati-hati di jalan ya Kang!” Kata Kiai Mulsih mengantarkan
tamunya keluar rumah.
Si maling mencucup
tangan Kiai Muslih sambil menahan tangisnya, walaupun lelehan air mata tidak
bisa dihindari. Kali ini ia benar-benar menangis. Berkali-kali minta maaf dan
mengucapkan terima kasihnya kepada Kiai Muslih, kemudian berlalu di kegelapan
malam.
Si maling dilepas
dengan damai oleh Kiai Muslih. Bukan berarti Kiai Muslih tidak paham akan hukum
maling serta konsekuensi hukumannya, tapi sebagai ulama tidak semudah itu
menghukum orang salah. Ada pesan kearifan Islam yang hendak disampaikan.
Kiranya dakwah dengan perbuatan akan berdampak lebih mendalam dan panjang
daripada dakwah dengan lisan. Diharapkan kelak si maling menjadi tersadar, dan
anak keturunannya menjadi orang baik-baik. Wallahu a’lam. (Ali
Shodiqin)
(Sebagaimana diceritakan oleh KH. Yahya Cholil
Staquf pada Nuzulul Qur’an, 17 Ramadhan 1437 H di Masjid Agung Rembang, Jawa
Tengah)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar