Rabu, 19 Mei 2010

Menggoda Kyai Syahid

Saat muda, ketika masih menjadi santri KH. Zubair Sarang (ayahanda KH Maimun Zuber), Kyai Syahid sudah dikenal sebagai anak yang rajin belajar dan penyabar. Hal demikian diakui oleh temannya sendiri yang sama-sama sudah dewasa dan jadi orang penting, bahwa Kyai Syahid dari muda sudah menampakkan sebagai calon orang besar.

Suatu malam di dalam gotakan (kamar pondok), dengan penerangan lampu teplok, Syahid muda mendaras atau membaca kitab kuning. Di tengah-tengah keasyikan membaca kitab itulah, tiba-tiba lampu yang dipakai belajar mati tertiup angin.

"Alhamdulillah....," ucapnya serta merta. Tanpa curiga sedikitpun, Syahid menyalakan teploknya lagi dengan korek sambil tak lupa mengucap, Alhamdulillah.

Sesaat kemudian, lampunya mati lagi. Dengan sabar dan tanpa komentar Syahid menyalakannya.

"Alhamdulillah......," tak henti-hentinya Syahid berhamdalah.

Setelah itu barulah disadari ada sepotong batang daun pepaya yang dijulurkan seseorang dari luar gotakan yang dipakai meniup lampu. Dan benar saja, lampu mati lagi setelah tertiup angin dari batang daun pepaya.

"Alhamdulillah.....siapa sih ini?" gumam Syahid sambil menyalakan lampu.

Masih tidak peduli apa yang barusan dialami, Syahid melanjutkan baca kitab. Secepat itu ia melupakan peristiwa yang mestinya menjengkelkan hati.

Rupanya kesabaran Syahid muda yang luar biasa itu membuat teman yang menggodanya serba salah.

"Sepertinya sia-sia aku menggoda Syahid!" pikirnya. "Habis, tidak lucu!"

Galibnya, seorang teman menggoda teman tujuannya adalah iseng dan guyon, tapi tidak demikian dengan menggoda Syahid. Guyon itu tidak kesampaian. Akhirnya teman yang menggodanya itu muncul dihadapan Syahid dan mengaku telah menggodanya. Dan tak lupa ia minta maaf pada Syahid. Alhamdulillah.

Minggu, 16 Mei 2010

Kyai Produk Sendiri

KHA. Mustofa Bisri, dalam sebuah kolomnya yang berjudul "Kyai-Kyai" pernah menulis bahwa Kyai itu macam-macam. Ada kyai produk pers, kyai produk masyarakat, kyai produk politikus, kyai produk sendiri, dll. Tentang 'kyai produk sendiri' ini, Gus Mus punya cerita tersendiri.
Ketika diminta mengisi ceramah pengajian 14-an yang bertempat di Aula Pondok Pesantren Raudlatut Tholibien Rembang Gus Mus bercerita : Pernah terjadi, ada seseorang yang demam ingin jadi Kyai, sebut saja Sodrun. Entah dapat ide darimana, ia mengumpulkan teman-temannya untuk mendukung keinginannya itu. Mereka sekitar sepuluh orang dikumpulkan di rumahnya dan diberi pengarahan rahasia. Sebagai ganti jerih payah, mereka akan dapat uang saku. Kelompok yang baru dibentuk itu biasa disebut dengan 'tim sukses'.

Pada suatu malam, Sodrun menghadiri sebuah pengajian yang tergolong besar. Pada acara semacam itulah saat tepat untuk beraksi bersama kawan-kawannya. Maka ia pun telah siap dengan dandanan ala kyai. Pakai peci haji, jubah putih, kemudian sorban besar yang diikatkan di kepala. Masih ditambah sorban hijau yang melingkar di lehernya.

Mobil rombongan Sodrun sampai di arena pengajian. Ketika turun dari mobil, langkahnya dibuat pasti dan meyakinkan, layaknya kyai besar nan berwibawa. Kiri kanan diikuti oleh beberapa temannya yang macak santri. Baru dua langkah ia berjalan, dari depan, menyerbu beberapa orang untuk bersalaman dan mencium tangannya, yang tak lain adalah teman-temannya juga. Ulah bersalaman yang terburu-buru itu rupanya menarik perhatian pengunjung yang kebetulan melihatnya. Biasanya orang Indonesia melihat sebuah aksi, tanpa pikir panjang ikut-ikutan saja. Ada pencopet dipukuli misalnya, dengan serta merta mereka ikut-ikutan memukuli hingga babak belur bahkan hingga mati, mereka tidak menyadari, apa seharusnya seorang pencopet dihukum mati secara beramai-ramai seperti itu.

Seperti saat itu, mereka pun buru-buru ikut menghambur mendekati 'kyai' yang baru datang. Dengan antusias, mereka berebut untuk bersalaman, mencium tangannya, bahkan membolak-balikkan tangannya, tak perduli harus dengan berdesak-desakan pula. Dan tak peduli pula, siapakah sebenarnya 'kyai' itu.

Di tengah-tengah kerumunan pengunjung, tim sukses yang lain tak kalah seru beraksi untuk mendukung keberadaan 'sang kyai'.

"Mas tahu nggak siapa Kyai yang baru datang itu?" tanya salah satu tim sukses pada salah seorang pengunjung yang memang tampak sedang gumun.

"Memangnya Kyai siapa ya? Kok agung banget!" yang ditanya balik bertanya.

"Dia itu K.H.M. Sodrun, seorang waliyullah terkenal!" katanya berapi-api. "Aku bara saja bersalaman dan mencium tangannya!"

Yang mendengar penjelasannya pada berdecak kagum. Seperti tidak ingin kehilangan kesempatan, orang itupun turut pula menghambur bersalaman dengan 'Kyai Sodrun'. Beberapa orang yang disebar untuk menyebarkan 'gosip' yang sama berkeliaran dari segala penjuru. Jadilah Kyai Sodrun terkenal di kota itu.

Rupanya, kiat jitu yang dimainkannya tidak sia-sia, Kyai Sodrun benar-benar dianggap 'Kyai' oleh banyak orang. Hingga puncaknya, dia diangkat sebagai salah seorang penasehat penting di sebuah perkumpulan ulama di kota itu.

Selasa, 11 Mei 2010

KH. ARWANI AMIN KUDUS: DARIPADA JADI PENCOPET

Kyai Arwani adalah Kyai yang terkenal dengan hafalan Qur'annya. Pesantrennya yang diasuhnya "Yanbu'ul Qur'an" di Kudus menjadi salah satu kiblat para hafidz-hafidzoh di Jawa Tengah.

Suatu hari ketika bepergian, di saat beliau turun dari bus di terminal Terboyo Semarang, Kyai Arwani kecopetan. Entah sudah tahu atau memang pura-pura tidak tahu, Kyai Arwani tidak perduli jika baru saja kecopetan. Santri yang mendampingi dan tahu kejadian kecopetan terkejut, seketika itu pula mereka pada mengejar pencopetnya.

"Copet...! Copet...!" teriaknya sambil mengejar. Suasana menjadi gaduh, serabutan, karena orang lain ikutan mengejar pencopet.

Tapi sayang, pencopetnya terlalu lincah berlari dan tampaknya cukup menguasai medan hingga gagal ditangkap. Para santri pada kecewa dan marah-marah pada pencopet yang sudah raib itu. Berani-beraninya si copet mengganggu sang Kyai, begitu kira-kira pikir mereka. Copetnya pun keterlaluan, tidak lihat-lihat siapa yang akan dijadikan korban. Dan tentu saja, pencopet tidak peduli hal itu. Mungkin yang diingat oleh pencopet adalah uang, uang dan uang. Bagi copet, siapa saja yang pegang uang, uang tetap bernilai uang. Yang juga tak kalah mengherankan adalah Kyai Arwani, tidak perduli dengan apa yang barusan terjadi. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Tenang-tenang saja, sibuk dengan dzikirnya. Sampai-sampai santrinya harus memberi tahu bahwa Kyai baru saja kehilangan dompet disikat pencopet.

"Kyai, Njenengan baru saja kecopetan!" kata santrinya memberitahu.

"Oh, ya?" jawab Kyai santai.

"Benar, Kyai. Tapi kami gagal menangkapnya! Keterlaluan betul pencopet itu!"

"Alhamdulillah.... Sudahlah kalian tidak perlu ribut-ribut. Saya bersyukur, yang dicopet itu saya!"

"Apa maksudnya Kyai?"

"Syukur....syukur..... Alhamdulillah. Karena saya yang dicopet, bukan saya yang jadi pencopetnya!"

Tentu saja para santri pada bengong mendengar jawaban Kyai.

"Kok bisa begitu Kyai?"

"Sekarang apa jawab kalian jika aku tanya, lebih baik mana, menjadi orang yang dicopet atau menjadi tukang copetnya?" tanya beliau kemudian.

Jawaban Kyai sungguh tak terbantahkan, masuk akal. Nuansa zuhud dan kesufian mengiringi ucapan-ucapan Kyai. Para santri yang menyertai beliu pada geleng-geleng kepala tanda paham. Dan para santripun mendapat pelajaran berharga yang belum pernah mereka jumpai dalam teori. Rupanya, dalam musibahpun bisa timbul rasa syukur, seperti yang sudah dicontohkan Kyai Arwani.

Minggu, 02 Mei 2010

Syaikhona Cholil Puasa Gula

Syaikhona KH. Cholil, kyai masyhur dan alim dari Bangkalan Madura, kedatangan tamu seorang bapak dari desa. Maksud kedatangan tamu tersebut adalah mengeluhkan perihal anaknya yang suka makan gula.

"Anak saya tidak mau berhenti makan gula, Kyai. Sudah tidak terhitung lagi saya menasehatinya agar mau berhenti makan gula!" kata tamu itu mengeluhkan anaknya.

"Jajanan anak saya, jika tidak permen ya pasti gula, Kyai," orang itu melanjutkan. "Tolong saya diberi sesuatu sebagai obat agar anakku mau berhenti makan gula, Kyai! Saya takut ia akan penyakitan karena kebanyakan makan gula!"

Demi mendengar keluhan tamunya itu, Kyai berpikir juga. Keluhan tamunya itu tampaknya memang sepele, yaitu mencari cara untuk mengatasi anaknya yang bandel, yang suka makan gula. Tampaknya Kyai menanggapinya dengan serius.

"Bapak ini setiap hari hanya minum air?" tanya Kyai tiba-tiba.

Sang tamu merasa terkejut ditanya demikian.

"Tidak Kyai! Kadang minum kopi, kadang minum teh!"

"Pakai gula?"

"Tentu saja Kyai!" di hati Bapak itu terasa geli juga mendengar pertanyaan Kyai Cholil. Kira-kira apa ya hubungannya?

Hening sejenak. Sesaat kemudian : "Begini, Bapak pulang saja dulu, tiga hari lagi kesini bersama anak Bapak!"

Tanda tanya memenuhi benak sang bapak, ia berpikir kenapa tidak diberi doa atau mungkin segelas air yang sudah dibacakan doa untuk pengobatan anaknya? Begitu sulitkah bagi Kyai?

Tiga hari berlalu, orang dari desa itu datang lagi menghadap Kyai Cholil bersama anaknya yang suka makan gula itu.

Setelah anaknya dihadapkan pada Kyai Cholil, bukannya diberi do'a malah dinasehati.

"Nak, kamu jangan suka makan gula lagi ya?" Nasehat Kyai pada anak itu seperti ketika menasehati cucunya sendiri.

"Iya Kyai!" jawab anak itu patuh. Terasa di hati bocah itu seperti tengah disiram air pegunungan yang sejuk, menyegarkan. Indah pula rasanya dihati.

Setelah itu Kyai tidak berbuat apa-apa lagi. Bahkan bercengkerama dengan sang anak dengan menghujani pertanyaan-pertanyaan tentang dunia anak. Lama-lama hati sang Bapak gundah juga. Ia berprasangka, sepertinya Kyai Cholil tidak berusaha 'mengobati' anaknya.

"Sudah begitu saja Kyai?" tanya sang Bapak kemudian.

"Iya Pak. Saya kira saya sudah menuruti kemauan Bapak. Saya sudah menasehati anak Bapak agar tidak hobi makan gula lagi!" Jawab Kyai.

Lagi-lagi jawaban Kyai membuat sang bapak itu makin terheran-heran.

"Kyai, kenapa anak saya hanya diberi nasehat begitu saja?" tanyanya. "Jika hanya nasehat, saya sendiri sebagai ayahnya sudah tak terhitung lagi menasehatinya!"

"Itulah masalahnya!"

"Maksud Kyai?"

"Saya jelaskan ya Pak, kenapa sampeyan saya suruh pulang dulu dan baru tiga hari kemudian saya minta kembali. Karena saya berdoa dan berpuasa selama tiga hari itu dengan tidak makan gula, agar ketika menasehati anakmu omongan saya bisa dipercaya!" jawab Kyai.

Rupanya jawaban Kyai yang terakhir bikin mulut orang itu tercekat. Tak sepatah katapun yang bisa diucapkan lagi. Dia tidak habis pikir, sampai seperti itu Kyai Cholil yang hendak menasehati anaknya? Harus dirinya dulu yang menjalani nasehatnya dengan bersusah payah berdo'a, berpuasa selama tiga hari sebelum disampaikan kepada si anak. Orang sekaliber Kyai Cholil saja, yang terkenal dengan ilmu nahwu, fiqih dan tasawuf itu masih harus 'tirakat' untuk sekedar berucap satu kalimat. Kedekatannya kepada Allah SWT sungguh luar biasa, sehingga setiap langkahnya selalu bernuansa dzikrullah, ingat Allah.

Akhirnya tamu itu pulang dengan membawa cerita keteladanan sang Kyai. Kenyataannya memang, sang anak langsung sembuh alias tidak lagi suka makan gula.

(Dari Ceramah Ustadz Syaikhu, diceritakan kembali oleh Ali Shodiqin, 1998)