Seorang nelayan yang sebetulnya sudah mapan, datang ke Kyai Abdullah Salam di kediamannya, Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati. Maksud kedatangannya adalah untuk mengeluhkan perihal rizkinya yang akhir-akhir ini tersendat-sendat. Ia ingin ijazah do'a.
"Kyai, akhir-akhir ini hasil tangkapan kami menurun, tolong berilah kami do'a agar hasil ikan kami melimpah?" kata tamu itu pada Kyai.
"Bapak ini nelayan tulen?" tanya Kyai Dullah Salam.
"Betul Kyai!"
"Untuk menjaring ikan di laut, tentu Bapak ini memakai kapal?"
"Benar Kyai. Bahkan kami sudah punya kapal sendiri."
"Punya jaring sendiri, punya mesin sendiri, dan punya peralatan-peralatan untuk menunjang kelancaran penangkapan ikan!" sahut Kyai.
"Betul sekali, Kyai!"
Diam sejenak.
"Bapak ini pernah menabur bibit ikan di laut?" tanya Kyai tiba-tiba, membuat nelayan itu terkejut.
"Tentu saja tidak, Kyai!" jawab sang nelayan agak linglung. Ia tak menduga jika akan menemukan pertanyaan demikian. Seabreg orang pandai yang pernah dikenalnya, tidak pernah menanyai demikian. Tentu tak terbayangkan jika nelayan harus menabur bibit ikan di laut agar berkembang biak dan menjadi besar-besar sebelum kemudian dijaring ikannya. Mulai dari moyang, buyut hingga kakeknya, ikan-ikan di laut tinggal saja mengeruk tanpa harus menabur anakan ikan terlebih dahulu. Dan.... tak pernah habis.
"Bapak dan kawan-kawan pernah memberi makan ikan-ikan di laut?" tanya Kyai melanjutkan.
"Tid.... tidak pernah Kyai!" Nelayan itu tampak makin gugup. Pertanyaan Kyai tampak kian 'ekstrim'.
"Jika demikian adanya, ya sudahlah!" kata Kyai kemudian.
Diputusi Kyai demikian, nelayan itu tambah bingung, bukankah maksud kedatangannya minta ijazah do'a agar dapat ikan banyak?
"Tapi, kami perlu doa agar hasil kami melimpah Kyai!" Kata nelayan itu belum puas. Ia masih belum mengerti apa yang dimaksud Kyai.
"Iya, saya tahu itu. Bapak ini setiap hari berangkat ke laut?"
"Setiap hari Kyai!"
"Dapat ikan?"
"Dapat Kyai! Tapi tidak sesuai dengan pengeluaran untuk perbekalan melaut! Akhir-akhir ini hasil yang kami peroleh masih merugi!"
"Baiklah. Saya ulangi lagi. Bapak pernah menabur ikan di laut dan memberi makan?"
"Tidak pernah Kyai!"
"Jadi selama ini Bapak ini hanya mengeruk kandungan ikan di laut?"
"Begitulah Kyai. Kami hanya menangkap dan menjaring saja!"
"Oo... jadi selama ini para nelayan itu hanya mengeruk saja?" Kyai geleng-geleng kepala.
"Betul, Kyai. Kami hanya tinggal menjaring saja!"
"Ya sudah kalau begitu!" jawab Kyai sambil beranjak dan masuk ke dalam rumah.
Nelayan itu tampak makin linglung, sungguh ia tidak bisa menangkap jalan pikiran Kyai Abdullah Salam. Perasaannya jadi amat gundah, apalagi jika dilihatnya wajah Kyai menyimpan rasa kekesalan pada dirinya.
Tamu lain yang kebetulan tahu peristiwa itu kasihan juga. Mumpung Kyai masuk ke dalam kamar, tamu itu memberi penjelasan singkat pada pak nelayan.
"Begini Pak. Maksud Kyai Dullah Salam tadi adalah, Bapak ini sebaiknya narimo saja. Jika Bapak tidak pernah merasa menabur ikan dan memberinya makan, tapi setiap hari Bapak jaring ikan-ikan di laut itu, maka adakalanya dapat banyak, adakalanya dapat sedikit. Jadi Bapak sudah baik mau berusaha mencari ikan. Jadi cobalah Bapak untuk bersyukur pada Allah yang telah menyediakan ikan-ikan di laut untuk dikeruk. Intinya adalah, berdoalah seperti biasanya dan besyukurlah, jangan suka mengeluh!"
Demi mendengar keterangan dari tamu itu, kini nelayan itu jadi paham dan mengerti. Kini lega hatinya. Sekarang ia tahu apa yang harus diperbuatnya, yaitu belajar bersyukur. (Sumber Zakaria Al Anshori)
Kamis, 17 Juni 2010
Minggu, 06 Juni 2010
Kyai Abdullah Chafidz dan Telur
Kyai Abdullah Chafidz Rembang, disamping seorang guru mengaji ilmu agama di pondok Al-Irsyad yang didirikannya, beliau juga adalah seorang Pegawai Negeri yang menjabat sebagai hakim di Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Rembang. Tugas utamanya adalah memutuskan cerai tidaknya seseorang dalam perkara perceraian.
Suatu hari, ketika akan sidang, tiba-tiba seorang pria yang terlibat kasus menggugat cerai istrinya, mencoba mendekati Kyai Chafidz.
"Kyai, tadi pagi saya datang ke kediaman Kyai!" kata pria itu.
"Oh ya?" kata Kyai Chafidz spontan.
"Tapi, saya hanya bisa bertemu dengan Bu Nyai, tidak ketemu Kyai!"
Mula-mula Kyai menganggap biasa peristiwa barusan, seperti orang yang berbasa-basi saja. Toh yang namanya tamu sowan ke kediamannya adalah sudah biasa. Siang malam tamu datang bersilaturrahim ke kediamannya, bahkan menginap segala. Tapi tiba-tiba hatinya terusik juga dengan pengakuan pria itu, apalagi dia akan mengikuti sidang pagi ini.
"Sedang apa orang itu di rumahku?" batin Kyai. "Jangan-jangan ada maksud-maksud tertentu yang kurang baik."
Karena di hati merasa tidak nyaman, daripada mengganggu jalannya sidang, Kyai Abdullah Chafidz pulang dulu ke rumah. Nanti jika urusan rumah selesai, baru sidang dimulai.
Apa yang menjadi ganjalan Kyai ternyata benar, ada sekeranjang telur di rumahnya. Ketika ditanyakan pada sang istri, katanya telur itu pemberian dari seorang laki-laki yang tidak dikenal. Dan entah apa maksud dan tujuannya, tidak ada kejelasan.
"Pasti orang yang menemuiku di kantor tadi pagi," pikir Kyai Chafidz. Maka segera dibawanya sekeranjang telur itu ke kantor.
Sebelum sidang dimulai, Kyai mendekati pria yang barusan menemuinya tadi.
"Apa betul, sampeyan yang membawa telur ini ke rumahku, Pak?" tanya Kyai Chafidz penuh selidik.
"Benar Kyai!" jawab pria itu percaya diri.
"Ambil dulu telur ini!" kata Kyai.
"Kenapa Kyai?" laki-laki itu jadi gugup.
"Maaf, Pak. Bukannya saya menolak pemberian Bapak, hanya saja, saya belum bisa menerimanya sekarang. Nanti saja usai sidang urusan telur dilanjutkan lagi!" jawab Kyai tegas.
Dengan masygul pria itu terpaksa menerima kembali telurnya.
Sidangpun segera dimulai. Kyai Chafidz memimpin sidang dengan tenang, hingga sidang berjalan dengan normal tanpa ganjalan apapun. Ternyata dalam sidang itu, pria penggugat yang barusan mengirimi Kyai telur kalah, alias gagal menceraikan istrinya. Usai sidang, Kyai Chafidz pun pulang seperti biasanya.
Soal telur tadi, ternyata pria itu tidak lagi pernah datang mengirimkan telurnya ke kediaman Kyai Abdullah Chafidz. (Sumber Zakaria Al Anshori)
Suatu hari, ketika akan sidang, tiba-tiba seorang pria yang terlibat kasus menggugat cerai istrinya, mencoba mendekati Kyai Chafidz.
"Kyai, tadi pagi saya datang ke kediaman Kyai!" kata pria itu.
"Oh ya?" kata Kyai Chafidz spontan.
"Tapi, saya hanya bisa bertemu dengan Bu Nyai, tidak ketemu Kyai!"
Mula-mula Kyai menganggap biasa peristiwa barusan, seperti orang yang berbasa-basi saja. Toh yang namanya tamu sowan ke kediamannya adalah sudah biasa. Siang malam tamu datang bersilaturrahim ke kediamannya, bahkan menginap segala. Tapi tiba-tiba hatinya terusik juga dengan pengakuan pria itu, apalagi dia akan mengikuti sidang pagi ini.
"Sedang apa orang itu di rumahku?" batin Kyai. "Jangan-jangan ada maksud-maksud tertentu yang kurang baik."
Karena di hati merasa tidak nyaman, daripada mengganggu jalannya sidang, Kyai Abdullah Chafidz pulang dulu ke rumah. Nanti jika urusan rumah selesai, baru sidang dimulai.
Apa yang menjadi ganjalan Kyai ternyata benar, ada sekeranjang telur di rumahnya. Ketika ditanyakan pada sang istri, katanya telur itu pemberian dari seorang laki-laki yang tidak dikenal. Dan entah apa maksud dan tujuannya, tidak ada kejelasan.
"Pasti orang yang menemuiku di kantor tadi pagi," pikir Kyai Chafidz. Maka segera dibawanya sekeranjang telur itu ke kantor.
Sebelum sidang dimulai, Kyai mendekati pria yang barusan menemuinya tadi.
"Apa betul, sampeyan yang membawa telur ini ke rumahku, Pak?" tanya Kyai Chafidz penuh selidik.
"Benar Kyai!" jawab pria itu percaya diri.
"Ambil dulu telur ini!" kata Kyai.
"Kenapa Kyai?" laki-laki itu jadi gugup.
"Maaf, Pak. Bukannya saya menolak pemberian Bapak, hanya saja, saya belum bisa menerimanya sekarang. Nanti saja usai sidang urusan telur dilanjutkan lagi!" jawab Kyai tegas.
Dengan masygul pria itu terpaksa menerima kembali telurnya.
Sidangpun segera dimulai. Kyai Chafidz memimpin sidang dengan tenang, hingga sidang berjalan dengan normal tanpa ganjalan apapun. Ternyata dalam sidang itu, pria penggugat yang barusan mengirimi Kyai telur kalah, alias gagal menceraikan istrinya. Usai sidang, Kyai Chafidz pun pulang seperti biasanya.
Soal telur tadi, ternyata pria itu tidak lagi pernah datang mengirimkan telurnya ke kediaman Kyai Abdullah Chafidz. (Sumber Zakaria Al Anshori)
Langganan:
Postingan (Atom)