Sebagai Kyai besar dan terkenal dengan pidatonya yang memukau, Kyai Bisri Mustofa, pengasuh Ponpes Roudlotut Tholibin Leteh Rembang, sering pergi ke luar kota untuk berceramah memenuhi permintaan ummat.
Karena seringnya meninggalkan santrinya, Kyai risau juga, sampai-sampai ketika hendak naik ke podium untuk berceramah Kyai Bisri berdoa : "Ya Allah, saya kesini ini akan menyampaikan sabda-sabda-Mu, dan sabda-sabda Rasul-Mu. Tapi sementara saya kesini meninggalkan anak-anaknya orang yang dititipkan kepada saya untuk mengaji. Mereka belum bisa ngamal. Maka Ya Allah, kalau ceramah atau pengajian saya ada pahalanya, berikanlah futuh-nya kepada santri-santri saya."
Senin, 31 Agustus 2009
RINDUNYA KH. ASFANI THOHA REMBANG
Rindu ingin selalu berdekat-dekat dengan Allah di Baitullah? Rindu bisa disampaikan lewat apa saja, lewat salam, lewat tulisan, atau lewat media lain yang memungkinkan sampai kesana. Kyai Asfani Thoha, karena rindu, beliau titip sebungkus jagung mentah pada seorang sahabatnya KHA. Chamid Mabrur yang hendak pergi haji.
"Tolong berikan jagung ini pada burung-burung dara yang banyak hidup di sekitar Masjidil Haram!" pesan Kyai pada sahabatnya tersebut. Mungkin Kyai hendak titip salam lewat burung-burung yang memakan jagung darinya.
Sahabatnya pun menjalankan amanah Kyai dengan baik. Nun jauh di sana, di Masjidil Haram, di saat amanah itu tengah dilaksanakan, di Indonesia Kyai Asfani mendahului menghadap kehadirat Allah SWT. Pasti beliau akan lebih merasakan bahwa rindunya telah kesampaian.
"Tolong berikan jagung ini pada burung-burung dara yang banyak hidup di sekitar Masjidil Haram!" pesan Kyai pada sahabatnya tersebut. Mungkin Kyai hendak titip salam lewat burung-burung yang memakan jagung darinya.
Sahabatnya pun menjalankan amanah Kyai dengan baik. Nun jauh di sana, di Masjidil Haram, di saat amanah itu tengah dilaksanakan, di Indonesia Kyai Asfani mendahului menghadap kehadirat Allah SWT. Pasti beliau akan lebih merasakan bahwa rindunya telah kesampaian.
KH. SYAHID KEMADU : Canda Kyai Syahid
Suatu hari, seorang pria setengah baya, pekerjaan PNS yang kehidupannya sangat sederhana namun sangat cinta pada kyai datang ke Kyai Syahid Kemadu. Dia 'sowan' tidak punya maksud apa-apa selain bersilaturrahim. Ia ingin mendengar sepatah dua patah kata meluncur langsung dari lisan Kyai Syahid yang ditujukan pada dirinya. Diharapkan, pertemuannya nanti membawa kesejukan hati, setelah melewati hari-hari yang melelahkan, yang penuh dengan cobaan. Namun kali ini ia gagal bertemu Kyai Syahid, karena tamunya hari itu terlampau banyak. Tentu tidak nyaman menambah repot Kyai Syahid yang sudah sepuh dan tampak kerepotan itu.
Ketika hendak kembali pulang, ia bertemu dengan seorang santri senior. Tiba-tiba tamu itu dapat ide untuk bertanya.
"Mas, bagaimana cara agar ketemu langsung dengan Kyai Syahid?" tanya tamu itu.
Rupanya santri yang ditanyai itu paham akan arah pertanyaannya.
"Begini saja Pak. Sebelum berangkat dari rumah, kirimi dulu Kyai Syahid dengan bacaan Surat Al-Fatikah!" jawab santri.
Tamu itu percaya betul dengan apa yang disebutkan oleh santri.
Maka, pada suatu hari, tepatnya hari Jum'at, usai sholat Jum'at ia hendak sowan lagi ke Kyai Syahid. Dengan sungguh-sungguh, dibacalah surat Al-Fatikah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian kepada Kyai Syahid.
Benar saja, hari itu dia berhasil menghadap Kyai Syahid secara sendirian. Betapa orang tadi sangat bersyukur, bisa ditemui Kyai Syahid dalam keadaan cerah dan segar bugar.
"Alhamdulillah....Alhamdulillah...," ucap Kyai Syahid menentramkan.
Sang tamu hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum senang. Tak ada kata-kata yang pantas diucapkan kecuali hanya diam, menunggu Kyai Syahid berkata lebih dahulu.
"Bapak ini putranya berapa?" tanya Kyai Syahid setelah berbasa-basi sebentar.
"Anak saya tiga orang, Kyai!" jawab sang tamu pelan.
"Sudah umur berapa mereka?"
"Yang pertama umur 17 tahun, yang kedua 12 tahun dan yang ketiga umur 8 tahun!"
"Alhamdulillah........!" ucapnya lagi sambil mempersilahkan tamunya minum kopi.
Hening sejenak.
"Berarti bapak ini lebih mulia dari saya....?" kata Kyai Syahid tiba-tiba.
Sang tamu tampak terkejut. Ditunggunya penjelasan lebih lanjut, apa maksud dari ucapan Kyai Syahid.
"Bapak sudah punya putra tiga orang dan sudah besar-besar semua.....," kata Kyai dengan terbata-bata namun jelas.
Kyai Syahid menatap tamunya dengan senyumnya yang khas, lalu lanjutnya : "Sedangkan saya baru punya dua anak dan masih kecil-kecil!"
Sang tamu tertawa terkekeh, memahami arti guyonan Kyai Syahid. Ia sangat mengerti, bukan maksudnya Kyai Syahid tidak mensyukuri putranya yang baru dua dan masih kecil, tapi rupanya Kyai Syahidlah yang mengajak dirinya untuk belajar mensyukuri dengan apapun yang telah diberikan oleh Allah SWT pada dirinya. Alhamdulillah.
Ketika hendak kembali pulang, ia bertemu dengan seorang santri senior. Tiba-tiba tamu itu dapat ide untuk bertanya.
"Mas, bagaimana cara agar ketemu langsung dengan Kyai Syahid?" tanya tamu itu.
Rupanya santri yang ditanyai itu paham akan arah pertanyaannya.
"Begini saja Pak. Sebelum berangkat dari rumah, kirimi dulu Kyai Syahid dengan bacaan Surat Al-Fatikah!" jawab santri.
Tamu itu percaya betul dengan apa yang disebutkan oleh santri.
Maka, pada suatu hari, tepatnya hari Jum'at, usai sholat Jum'at ia hendak sowan lagi ke Kyai Syahid. Dengan sungguh-sungguh, dibacalah surat Al-Fatikah yang ditujukan kepada Nabi Muhammad SAW, kemudian kepada Kyai Syahid.
Benar saja, hari itu dia berhasil menghadap Kyai Syahid secara sendirian. Betapa orang tadi sangat bersyukur, bisa ditemui Kyai Syahid dalam keadaan cerah dan segar bugar.
"Alhamdulillah....Alhamdulillah...," ucap Kyai Syahid menentramkan.
Sang tamu hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum senang. Tak ada kata-kata yang pantas diucapkan kecuali hanya diam, menunggu Kyai Syahid berkata lebih dahulu.
"Bapak ini putranya berapa?" tanya Kyai Syahid setelah berbasa-basi sebentar.
"Anak saya tiga orang, Kyai!" jawab sang tamu pelan.
"Sudah umur berapa mereka?"
"Yang pertama umur 17 tahun, yang kedua 12 tahun dan yang ketiga umur 8 tahun!"
"Alhamdulillah........!" ucapnya lagi sambil mempersilahkan tamunya minum kopi.
Hening sejenak.
"Berarti bapak ini lebih mulia dari saya....?" kata Kyai Syahid tiba-tiba.
Sang tamu tampak terkejut. Ditunggunya penjelasan lebih lanjut, apa maksud dari ucapan Kyai Syahid.
"Bapak sudah punya putra tiga orang dan sudah besar-besar semua.....," kata Kyai dengan terbata-bata namun jelas.
Kyai Syahid menatap tamunya dengan senyumnya yang khas, lalu lanjutnya : "Sedangkan saya baru punya dua anak dan masih kecil-kecil!"
Sang tamu tertawa terkekeh, memahami arti guyonan Kyai Syahid. Ia sangat mengerti, bukan maksudnya Kyai Syahid tidak mensyukuri putranya yang baru dua dan masih kecil, tapi rupanya Kyai Syahidlah yang mengajak dirinya untuk belajar mensyukuri dengan apapun yang telah diberikan oleh Allah SWT pada dirinya. Alhamdulillah.
KH. BISRI SYANSURI: Berburu Tunggangan Akherat
Siang itu, ketika Gus Dur masih mengaji pada Kyai Bisri Syansuri, datanglah seorang tamu dari sebuah kampung. Tamu tersebut hendak menanyakan perihal hukum berkurban.
"Kyai, saya punya seekor sapi, sementara anak saya jumlahnya delapan. Bagaimana mengatasi ini? Katanya seekor sapi hanya untuk tunggangan 7 orang saja. Padahal anak saya yang ke delapan, yang paling kecil, juga perlu mendapat tunggangan di akherat?"
"Begini saja, beli satu ekor sapi lagi, atau jika tidak mampu tunda tahun depan!" jawab Kyai Bisri Syamsuri spontan.
Namun jawaban Kyai Bisri Syansuri sangat memberatkannya. Beli sapi satu lagi sudah tidak mungkin, ditunda tahun depan lebih tidak mungkin. Kyai Bisri pun ingat, ada seorang kyai sepuh yang pasti lebih bijak memberi jawaban.
"Begini saja, datanglah ke kediaman Kyai Wahab Hasbullah dan tanyakan perihalmu!" kata Kyai Bisri memutuskan.
"Dur, ajak orang ini sowan ke dalemnya Kyai Wahab Chasbullah!" perintah Kyai Bisri Syansuri.
Maka Gus Dur pun segera beranjak hendak mengantar tamunya itu. Dengan naik sepeda onthel, orang itu diantar ke kediaman Kyai Wahab Chasbullah.
Di kediaman Kyai Wahab, orang desa itu menanyakan kembali masalahnya. Juga diceritakan akan jawaban Kyai Bisri Syansuri barusan.
"Jika beli satu kambing lagi Bapak bisa?" tanya Kyai Wahab kemudian.
"Bisa Kyai!"
"Nah, kalau begitu, beli saja seekor kambing! Nanti anak ke delapan ikut kebagian tunggangan di akherat!" jawab Kyai Wahab.
Maka legalah orang kampung itu.
"Kyai, saya punya seekor sapi, sementara anak saya jumlahnya delapan. Bagaimana mengatasi ini? Katanya seekor sapi hanya untuk tunggangan 7 orang saja. Padahal anak saya yang ke delapan, yang paling kecil, juga perlu mendapat tunggangan di akherat?"
"Begini saja, beli satu ekor sapi lagi, atau jika tidak mampu tunda tahun depan!" jawab Kyai Bisri Syamsuri spontan.
Namun jawaban Kyai Bisri Syansuri sangat memberatkannya. Beli sapi satu lagi sudah tidak mungkin, ditunda tahun depan lebih tidak mungkin. Kyai Bisri pun ingat, ada seorang kyai sepuh yang pasti lebih bijak memberi jawaban.
"Begini saja, datanglah ke kediaman Kyai Wahab Hasbullah dan tanyakan perihalmu!" kata Kyai Bisri memutuskan.
"Dur, ajak orang ini sowan ke dalemnya Kyai Wahab Chasbullah!" perintah Kyai Bisri Syansuri.
Maka Gus Dur pun segera beranjak hendak mengantar tamunya itu. Dengan naik sepeda onthel, orang itu diantar ke kediaman Kyai Wahab Chasbullah.
Di kediaman Kyai Wahab, orang desa itu menanyakan kembali masalahnya. Juga diceritakan akan jawaban Kyai Bisri Syansuri barusan.
"Jika beli satu kambing lagi Bapak bisa?" tanya Kyai Wahab kemudian.
"Bisa Kyai!"
"Nah, kalau begitu, beli saja seekor kambing! Nanti anak ke delapan ikut kebagian tunggangan di akherat!" jawab Kyai Wahab.
Maka legalah orang kampung itu.
Langganan:
Postingan (Atom)