Pada suatu hari gara-gara tulang kepala kambing Abu Nawas terlibat cekcok dengan seorang kawan dekatnya bernama Hatim. Karena tidak ada yang mau mengalah, kedua pihak sepakat untuk menghadap Raja Harun Ar Rasyid.
“Ada apa kalian sampai bertengkar?”Tanya sang Raja.
“Begini Baginda,” kata Hatim mencoba menjelaskan. “Tempo hari kami sepakat membeli kepala kambing dengan cara patungan. Kepala kambing itu dimasak di rumahku, dan telah kami makan bersama. Sepeninggalan dia tulang-tulang kambing itu aku kumpulkan kembali kemudian aku gantung di depan rumahku sebagai hiasan. Lumayanlah daripada beli. Namun baru sehari semalam tulang-tulang itu lenyap. Setelah aku cari belakangan ketahuan dialah yang mengambilnya, dan dipasang di depan rumahnya. Ketika akan aku ambil lagi dia malah marah-marah.”
“Apa benar begitu, Abu Nawas?” Tanya sang Raja.
“Memang benar, Baginda,” jawab Abu Nawas. “Tetapi tolong dengar dulu penjelasanku. Seperti yang Anda dengar sendiri kepala kambing itu dibeli dengan cara patungan. Jadi sudah adil kalau tulang-tulangnya itu dimanfaatkan secara bergantian. Sehari semalam dipasang di rumahnya dan sehari semalam berikutnya dipasang di rumahku. Begitu seterusnya.”
“Tidak bisa. Kepala kambing itu kan dimasak di rumahku dan menggunakan alat-alat dapurku. Sebagian imbalannya wajar kalau tulang-tulangnya itu menjadi milikku,” kata Hatim.
“Benar. Tetapi harus diingat bahwa kamu juga telah menikmati asap sedap berbau daging di dapurmu secara gratis. Jadi itu sudah merupakan imbalan untuk pemakaian alat-alat dapurmu,” sergah Abu Nawas.
“Sudah…. Sudah! Seumur hidup baru aku temui orang sekikir kalian ini!” Kata sang Raja Harun Ar Rasyid dengan kesal sambil terus beranjak.
(Sumber : HUMORGATE oleh HA Soenarto, Rembang Pos, 10-20 Juli 2003)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar