Seorang nelayan yang sebetulnya sudah mapan, datang ke Kyai Abdullah Salam di kediamannya, Pondok Pesantren Maslakul Huda Kajen Pati. Maksud kedatangannya adalah untuk mengeluhkan perihal rizkinya yang akhir-akhir ini tersendat-sendat. Ia ingin ijazah do'a.
"Kyai, akhir-akhir ini hasil tangkapan kami menurun, tolong berilah kami do'a agar hasil ikan kami melimpah?" kata tamu itu pada Kyai.
"Bapak ini nelayan tulen?" tanya Kyai Dullah Salam.
"Betul Kyai!"
"Untuk menjaring ikan di laut, tentu Bapak ini memakai kapal?"
"Benar Kyai. Bahkan kami sudah punya kapal sendiri."
"Punya jaring sendiri, punya mesin sendiri, dan punya peralatan-peralatan untuk menunjang kelancaran penangkapan ikan!" sahut Kyai.
"Betul sekali, Kyai!"
Diam sejenak.
"Bapak ini pernah menabur bibit ikan di laut?" tanya Kyai tiba-tiba, membuat nelayan itu terkejut.
"Tentu saja tidak, Kyai!" jawab sang nelayan agak linglung. Ia tak menduga jika akan menemukan pertanyaan demikian. Seabreg orang pandai yang pernah dikenalnya, tidak pernah menanyai demikian. Tentu tak terbayangkan jika nelayan harus menabur bibit ikan di laut agar berkembang biak dan menjadi besar-besar sebelum kemudian dijaring ikannya. Mulai dari moyang, buyut hingga kakeknya, ikan-ikan di laut tinggal saja mengeruk tanpa harus menabur anakan ikan terlebih dahulu. Dan.... tak pernah habis.
"Bapak dan kawan-kawan pernah memberi makan ikan-ikan di laut?" tanya Kyai melanjutkan.
"Tid.... tidak pernah Kyai!" Nelayan itu tampak makin gugup. Pertanyaan Kyai tampak kian 'ekstrim'.
"Jika demikian adanya, ya sudahlah!" kata Kyai kemudian.
Diputusi Kyai demikian, nelayan itu tambah bingung, bukankah maksud kedatangannya minta ijazah do'a agar dapat ikan banyak?
"Tapi, kami perlu doa agar hasil kami melimpah Kyai!" Kata nelayan itu belum puas. Ia masih belum mengerti apa yang dimaksud Kyai.
"Iya, saya tahu itu. Bapak ini setiap hari berangkat ke laut?"
"Setiap hari Kyai!"
"Dapat ikan?"
"Dapat Kyai! Tapi tidak sesuai dengan pengeluaran untuk perbekalan melaut! Akhir-akhir ini hasil yang kami peroleh masih merugi!"
"Baiklah. Saya ulangi lagi. Bapak pernah menabur ikan di laut dan memberi makan?"
"Tidak pernah Kyai!"
"Jadi selama ini Bapak ini hanya mengeruk kandungan ikan di laut?"
"Begitulah Kyai. Kami hanya menangkap dan menjaring saja!"
"Oo... jadi selama ini para nelayan itu hanya mengeruk saja?" Kyai geleng-geleng kepala.
"Betul, Kyai. Kami hanya tinggal menjaring saja!"
"Ya sudah kalau begitu!" jawab Kyai sambil beranjak dan masuk ke dalam rumah.
Nelayan itu tampak makin linglung, sungguh ia tidak bisa menangkap jalan pikiran Kyai Abdullah Salam. Perasaannya jadi amat gundah, apalagi jika dilihatnya wajah Kyai menyimpan rasa kekesalan pada dirinya.
Tamu lain yang kebetulan tahu peristiwa itu kasihan juga. Mumpung Kyai masuk ke dalam kamar, tamu itu memberi penjelasan singkat pada pak nelayan.
"Begini Pak. Maksud Kyai Dullah Salam tadi adalah, Bapak ini sebaiknya narimo saja. Jika Bapak tidak pernah merasa menabur ikan dan memberinya makan, tapi setiap hari Bapak jaring ikan-ikan di laut itu, maka adakalanya dapat banyak, adakalanya dapat sedikit. Jadi Bapak sudah baik mau berusaha mencari ikan. Jadi cobalah Bapak untuk bersyukur pada Allah yang telah menyediakan ikan-ikan di laut untuk dikeruk. Intinya adalah, berdoalah seperti biasanya dan besyukurlah, jangan suka mengeluh!"
Demi mendengar keterangan dari tamu itu, kini nelayan itu jadi paham dan mengerti. Kini lega hatinya. Sekarang ia tahu apa yang harus diperbuatnya, yaitu belajar bersyukur. (Sumber Zakaria Al Anshori)
Kamis, 17 Juni 2010
Minggu, 06 Juni 2010
Kyai Abdullah Chafidz dan Telur
Kyai Abdullah Chafidz Rembang, disamping seorang guru mengaji ilmu agama di pondok Al-Irsyad yang didirikannya, beliau juga adalah seorang Pegawai Negeri yang menjabat sebagai hakim di Kantor Pengadilan Agama Kabupaten Rembang. Tugas utamanya adalah memutuskan cerai tidaknya seseorang dalam perkara perceraian.
Suatu hari, ketika akan sidang, tiba-tiba seorang pria yang terlibat kasus menggugat cerai istrinya, mencoba mendekati Kyai Chafidz.
"Kyai, tadi pagi saya datang ke kediaman Kyai!" kata pria itu.
"Oh ya?" kata Kyai Chafidz spontan.
"Tapi, saya hanya bisa bertemu dengan Bu Nyai, tidak ketemu Kyai!"
Mula-mula Kyai menganggap biasa peristiwa barusan, seperti orang yang berbasa-basi saja. Toh yang namanya tamu sowan ke kediamannya adalah sudah biasa. Siang malam tamu datang bersilaturrahim ke kediamannya, bahkan menginap segala. Tapi tiba-tiba hatinya terusik juga dengan pengakuan pria itu, apalagi dia akan mengikuti sidang pagi ini.
"Sedang apa orang itu di rumahku?" batin Kyai. "Jangan-jangan ada maksud-maksud tertentu yang kurang baik."
Karena di hati merasa tidak nyaman, daripada mengganggu jalannya sidang, Kyai Abdullah Chafidz pulang dulu ke rumah. Nanti jika urusan rumah selesai, baru sidang dimulai.
Apa yang menjadi ganjalan Kyai ternyata benar, ada sekeranjang telur di rumahnya. Ketika ditanyakan pada sang istri, katanya telur itu pemberian dari seorang laki-laki yang tidak dikenal. Dan entah apa maksud dan tujuannya, tidak ada kejelasan.
"Pasti orang yang menemuiku di kantor tadi pagi," pikir Kyai Chafidz. Maka segera dibawanya sekeranjang telur itu ke kantor.
Sebelum sidang dimulai, Kyai mendekati pria yang barusan menemuinya tadi.
"Apa betul, sampeyan yang membawa telur ini ke rumahku, Pak?" tanya Kyai Chafidz penuh selidik.
"Benar Kyai!" jawab pria itu percaya diri.
"Ambil dulu telur ini!" kata Kyai.
"Kenapa Kyai?" laki-laki itu jadi gugup.
"Maaf, Pak. Bukannya saya menolak pemberian Bapak, hanya saja, saya belum bisa menerimanya sekarang. Nanti saja usai sidang urusan telur dilanjutkan lagi!" jawab Kyai tegas.
Dengan masygul pria itu terpaksa menerima kembali telurnya.
Sidangpun segera dimulai. Kyai Chafidz memimpin sidang dengan tenang, hingga sidang berjalan dengan normal tanpa ganjalan apapun. Ternyata dalam sidang itu, pria penggugat yang barusan mengirimi Kyai telur kalah, alias gagal menceraikan istrinya. Usai sidang, Kyai Chafidz pun pulang seperti biasanya.
Soal telur tadi, ternyata pria itu tidak lagi pernah datang mengirimkan telurnya ke kediaman Kyai Abdullah Chafidz. (Sumber Zakaria Al Anshori)
Suatu hari, ketika akan sidang, tiba-tiba seorang pria yang terlibat kasus menggugat cerai istrinya, mencoba mendekati Kyai Chafidz.
"Kyai, tadi pagi saya datang ke kediaman Kyai!" kata pria itu.
"Oh ya?" kata Kyai Chafidz spontan.
"Tapi, saya hanya bisa bertemu dengan Bu Nyai, tidak ketemu Kyai!"
Mula-mula Kyai menganggap biasa peristiwa barusan, seperti orang yang berbasa-basi saja. Toh yang namanya tamu sowan ke kediamannya adalah sudah biasa. Siang malam tamu datang bersilaturrahim ke kediamannya, bahkan menginap segala. Tapi tiba-tiba hatinya terusik juga dengan pengakuan pria itu, apalagi dia akan mengikuti sidang pagi ini.
"Sedang apa orang itu di rumahku?" batin Kyai. "Jangan-jangan ada maksud-maksud tertentu yang kurang baik."
Karena di hati merasa tidak nyaman, daripada mengganggu jalannya sidang, Kyai Abdullah Chafidz pulang dulu ke rumah. Nanti jika urusan rumah selesai, baru sidang dimulai.
Apa yang menjadi ganjalan Kyai ternyata benar, ada sekeranjang telur di rumahnya. Ketika ditanyakan pada sang istri, katanya telur itu pemberian dari seorang laki-laki yang tidak dikenal. Dan entah apa maksud dan tujuannya, tidak ada kejelasan.
"Pasti orang yang menemuiku di kantor tadi pagi," pikir Kyai Chafidz. Maka segera dibawanya sekeranjang telur itu ke kantor.
Sebelum sidang dimulai, Kyai mendekati pria yang barusan menemuinya tadi.
"Apa betul, sampeyan yang membawa telur ini ke rumahku, Pak?" tanya Kyai Chafidz penuh selidik.
"Benar Kyai!" jawab pria itu percaya diri.
"Ambil dulu telur ini!" kata Kyai.
"Kenapa Kyai?" laki-laki itu jadi gugup.
"Maaf, Pak. Bukannya saya menolak pemberian Bapak, hanya saja, saya belum bisa menerimanya sekarang. Nanti saja usai sidang urusan telur dilanjutkan lagi!" jawab Kyai tegas.
Dengan masygul pria itu terpaksa menerima kembali telurnya.
Sidangpun segera dimulai. Kyai Chafidz memimpin sidang dengan tenang, hingga sidang berjalan dengan normal tanpa ganjalan apapun. Ternyata dalam sidang itu, pria penggugat yang barusan mengirimi Kyai telur kalah, alias gagal menceraikan istrinya. Usai sidang, Kyai Chafidz pun pulang seperti biasanya.
Soal telur tadi, ternyata pria itu tidak lagi pernah datang mengirimkan telurnya ke kediaman Kyai Abdullah Chafidz. (Sumber Zakaria Al Anshori)
Rabu, 19 Mei 2010
Menggoda Kyai Syahid
Saat muda, ketika masih menjadi santri KH. Zubair Sarang (ayahanda KH Maimun Zuber), Kyai Syahid sudah dikenal sebagai anak yang rajin belajar dan penyabar. Hal demikian diakui oleh temannya sendiri yang sama-sama sudah dewasa dan jadi orang penting, bahwa Kyai Syahid dari muda sudah menampakkan sebagai calon orang besar.
Suatu malam di dalam gotakan (kamar pondok), dengan penerangan lampu teplok, Syahid muda mendaras atau membaca kitab kuning. Di tengah-tengah keasyikan membaca kitab itulah, tiba-tiba lampu yang dipakai belajar mati tertiup angin.
"Alhamdulillah....," ucapnya serta merta. Tanpa curiga sedikitpun, Syahid menyalakan teploknya lagi dengan korek sambil tak lupa mengucap, Alhamdulillah.
Sesaat kemudian, lampunya mati lagi. Dengan sabar dan tanpa komentar Syahid menyalakannya.
"Alhamdulillah......," tak henti-hentinya Syahid berhamdalah.
Setelah itu barulah disadari ada sepotong batang daun pepaya yang dijulurkan seseorang dari luar gotakan yang dipakai meniup lampu. Dan benar saja, lampu mati lagi setelah tertiup angin dari batang daun pepaya.
"Alhamdulillah.....siapa sih ini?" gumam Syahid sambil menyalakan lampu.
Masih tidak peduli apa yang barusan dialami, Syahid melanjutkan baca kitab. Secepat itu ia melupakan peristiwa yang mestinya menjengkelkan hati.
Rupanya kesabaran Syahid muda yang luar biasa itu membuat teman yang menggodanya serba salah.
"Sepertinya sia-sia aku menggoda Syahid!" pikirnya. "Habis, tidak lucu!"
Galibnya, seorang teman menggoda teman tujuannya adalah iseng dan guyon, tapi tidak demikian dengan menggoda Syahid. Guyon itu tidak kesampaian. Akhirnya teman yang menggodanya itu muncul dihadapan Syahid dan mengaku telah menggodanya. Dan tak lupa ia minta maaf pada Syahid. Alhamdulillah.
Suatu malam di dalam gotakan (kamar pondok), dengan penerangan lampu teplok, Syahid muda mendaras atau membaca kitab kuning. Di tengah-tengah keasyikan membaca kitab itulah, tiba-tiba lampu yang dipakai belajar mati tertiup angin.
"Alhamdulillah....," ucapnya serta merta. Tanpa curiga sedikitpun, Syahid menyalakan teploknya lagi dengan korek sambil tak lupa mengucap, Alhamdulillah.
Sesaat kemudian, lampunya mati lagi. Dengan sabar dan tanpa komentar Syahid menyalakannya.
"Alhamdulillah......," tak henti-hentinya Syahid berhamdalah.
Setelah itu barulah disadari ada sepotong batang daun pepaya yang dijulurkan seseorang dari luar gotakan yang dipakai meniup lampu. Dan benar saja, lampu mati lagi setelah tertiup angin dari batang daun pepaya.
"Alhamdulillah.....siapa sih ini?" gumam Syahid sambil menyalakan lampu.
Masih tidak peduli apa yang barusan dialami, Syahid melanjutkan baca kitab. Secepat itu ia melupakan peristiwa yang mestinya menjengkelkan hati.
Rupanya kesabaran Syahid muda yang luar biasa itu membuat teman yang menggodanya serba salah.
"Sepertinya sia-sia aku menggoda Syahid!" pikirnya. "Habis, tidak lucu!"
Galibnya, seorang teman menggoda teman tujuannya adalah iseng dan guyon, tapi tidak demikian dengan menggoda Syahid. Guyon itu tidak kesampaian. Akhirnya teman yang menggodanya itu muncul dihadapan Syahid dan mengaku telah menggodanya. Dan tak lupa ia minta maaf pada Syahid. Alhamdulillah.
Minggu, 16 Mei 2010
Kyai Produk Sendiri
KHA. Mustofa Bisri, dalam sebuah kolomnya yang berjudul "Kyai-Kyai" pernah menulis bahwa Kyai itu macam-macam. Ada kyai produk pers, kyai produk masyarakat, kyai produk politikus, kyai produk sendiri, dll. Tentang 'kyai produk sendiri' ini, Gus Mus punya cerita tersendiri.
Ketika diminta mengisi ceramah pengajian 14-an yang bertempat di Aula Pondok Pesantren Raudlatut Tholibien Rembang Gus Mus bercerita : Pernah terjadi, ada seseorang yang demam ingin jadi Kyai, sebut saja Sodrun. Entah dapat ide darimana, ia mengumpulkan teman-temannya untuk mendukung keinginannya itu. Mereka sekitar sepuluh orang dikumpulkan di rumahnya dan diberi pengarahan rahasia. Sebagai ganti jerih payah, mereka akan dapat uang saku. Kelompok yang baru dibentuk itu biasa disebut dengan 'tim sukses'.
Pada suatu malam, Sodrun menghadiri sebuah pengajian yang tergolong besar. Pada acara semacam itulah saat tepat untuk beraksi bersama kawan-kawannya. Maka ia pun telah siap dengan dandanan ala kyai. Pakai peci haji, jubah putih, kemudian sorban besar yang diikatkan di kepala. Masih ditambah sorban hijau yang melingkar di lehernya.
Mobil rombongan Sodrun sampai di arena pengajian. Ketika turun dari mobil, langkahnya dibuat pasti dan meyakinkan, layaknya kyai besar nan berwibawa. Kiri kanan diikuti oleh beberapa temannya yang macak santri. Baru dua langkah ia berjalan, dari depan, menyerbu beberapa orang untuk bersalaman dan mencium tangannya, yang tak lain adalah teman-temannya juga. Ulah bersalaman yang terburu-buru itu rupanya menarik perhatian pengunjung yang kebetulan melihatnya. Biasanya orang Indonesia melihat sebuah aksi, tanpa pikir panjang ikut-ikutan saja. Ada pencopet dipukuli misalnya, dengan serta merta mereka ikut-ikutan memukuli hingga babak belur bahkan hingga mati, mereka tidak menyadari, apa seharusnya seorang pencopet dihukum mati secara beramai-ramai seperti itu.
Seperti saat itu, mereka pun buru-buru ikut menghambur mendekati 'kyai' yang baru datang. Dengan antusias, mereka berebut untuk bersalaman, mencium tangannya, bahkan membolak-balikkan tangannya, tak perduli harus dengan berdesak-desakan pula. Dan tak peduli pula, siapakah sebenarnya 'kyai' itu.
Di tengah-tengah kerumunan pengunjung, tim sukses yang lain tak kalah seru beraksi untuk mendukung keberadaan 'sang kyai'.
"Mas tahu nggak siapa Kyai yang baru datang itu?" tanya salah satu tim sukses pada salah seorang pengunjung yang memang tampak sedang gumun.
"Memangnya Kyai siapa ya? Kok agung banget!" yang ditanya balik bertanya.
"Dia itu K.H.M. Sodrun, seorang waliyullah terkenal!" katanya berapi-api. "Aku bara saja bersalaman dan mencium tangannya!"
Yang mendengar penjelasannya pada berdecak kagum. Seperti tidak ingin kehilangan kesempatan, orang itupun turut pula menghambur bersalaman dengan 'Kyai Sodrun'. Beberapa orang yang disebar untuk menyebarkan 'gosip' yang sama berkeliaran dari segala penjuru. Jadilah Kyai Sodrun terkenal di kota itu.
Rupanya, kiat jitu yang dimainkannya tidak sia-sia, Kyai Sodrun benar-benar dianggap 'Kyai' oleh banyak orang. Hingga puncaknya, dia diangkat sebagai salah seorang penasehat penting di sebuah perkumpulan ulama di kota itu.
Ketika diminta mengisi ceramah pengajian 14-an yang bertempat di Aula Pondok Pesantren Raudlatut Tholibien Rembang Gus Mus bercerita : Pernah terjadi, ada seseorang yang demam ingin jadi Kyai, sebut saja Sodrun. Entah dapat ide darimana, ia mengumpulkan teman-temannya untuk mendukung keinginannya itu. Mereka sekitar sepuluh orang dikumpulkan di rumahnya dan diberi pengarahan rahasia. Sebagai ganti jerih payah, mereka akan dapat uang saku. Kelompok yang baru dibentuk itu biasa disebut dengan 'tim sukses'.
Pada suatu malam, Sodrun menghadiri sebuah pengajian yang tergolong besar. Pada acara semacam itulah saat tepat untuk beraksi bersama kawan-kawannya. Maka ia pun telah siap dengan dandanan ala kyai. Pakai peci haji, jubah putih, kemudian sorban besar yang diikatkan di kepala. Masih ditambah sorban hijau yang melingkar di lehernya.
Mobil rombongan Sodrun sampai di arena pengajian. Ketika turun dari mobil, langkahnya dibuat pasti dan meyakinkan, layaknya kyai besar nan berwibawa. Kiri kanan diikuti oleh beberapa temannya yang macak santri. Baru dua langkah ia berjalan, dari depan, menyerbu beberapa orang untuk bersalaman dan mencium tangannya, yang tak lain adalah teman-temannya juga. Ulah bersalaman yang terburu-buru itu rupanya menarik perhatian pengunjung yang kebetulan melihatnya. Biasanya orang Indonesia melihat sebuah aksi, tanpa pikir panjang ikut-ikutan saja. Ada pencopet dipukuli misalnya, dengan serta merta mereka ikut-ikutan memukuli hingga babak belur bahkan hingga mati, mereka tidak menyadari, apa seharusnya seorang pencopet dihukum mati secara beramai-ramai seperti itu.
Seperti saat itu, mereka pun buru-buru ikut menghambur mendekati 'kyai' yang baru datang. Dengan antusias, mereka berebut untuk bersalaman, mencium tangannya, bahkan membolak-balikkan tangannya, tak perduli harus dengan berdesak-desakan pula. Dan tak peduli pula, siapakah sebenarnya 'kyai' itu.
Di tengah-tengah kerumunan pengunjung, tim sukses yang lain tak kalah seru beraksi untuk mendukung keberadaan 'sang kyai'.
"Mas tahu nggak siapa Kyai yang baru datang itu?" tanya salah satu tim sukses pada salah seorang pengunjung yang memang tampak sedang gumun.
"Memangnya Kyai siapa ya? Kok agung banget!" yang ditanya balik bertanya.
"Dia itu K.H.M. Sodrun, seorang waliyullah terkenal!" katanya berapi-api. "Aku bara saja bersalaman dan mencium tangannya!"
Yang mendengar penjelasannya pada berdecak kagum. Seperti tidak ingin kehilangan kesempatan, orang itupun turut pula menghambur bersalaman dengan 'Kyai Sodrun'. Beberapa orang yang disebar untuk menyebarkan 'gosip' yang sama berkeliaran dari segala penjuru. Jadilah Kyai Sodrun terkenal di kota itu.
Rupanya, kiat jitu yang dimainkannya tidak sia-sia, Kyai Sodrun benar-benar dianggap 'Kyai' oleh banyak orang. Hingga puncaknya, dia diangkat sebagai salah seorang penasehat penting di sebuah perkumpulan ulama di kota itu.
Selasa, 11 Mei 2010
KH. ARWANI AMIN KUDUS: DARIPADA JADI PENCOPET
Kyai Arwani adalah Kyai yang terkenal dengan hafalan Qur'annya. Pesantrennya yang diasuhnya "Yanbu'ul Qur'an" di Kudus menjadi salah satu kiblat para hafidz-hafidzoh di Jawa Tengah.
Suatu hari ketika bepergian, di saat beliau turun dari bus di terminal Terboyo Semarang, Kyai Arwani kecopetan. Entah sudah tahu atau memang pura-pura tidak tahu, Kyai Arwani tidak perduli jika baru saja kecopetan. Santri yang mendampingi dan tahu kejadian kecopetan terkejut, seketika itu pula mereka pada mengejar pencopetnya.
"Copet...! Copet...!" teriaknya sambil mengejar. Suasana menjadi gaduh, serabutan, karena orang lain ikutan mengejar pencopet.
Tapi sayang, pencopetnya terlalu lincah berlari dan tampaknya cukup menguasai medan hingga gagal ditangkap. Para santri pada kecewa dan marah-marah pada pencopet yang sudah raib itu. Berani-beraninya si copet mengganggu sang Kyai, begitu kira-kira pikir mereka. Copetnya pun keterlaluan, tidak lihat-lihat siapa yang akan dijadikan korban. Dan tentu saja, pencopet tidak peduli hal itu. Mungkin yang diingat oleh pencopet adalah uang, uang dan uang. Bagi copet, siapa saja yang pegang uang, uang tetap bernilai uang. Yang juga tak kalah mengherankan adalah Kyai Arwani, tidak perduli dengan apa yang barusan terjadi. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Tenang-tenang saja, sibuk dengan dzikirnya. Sampai-sampai santrinya harus memberi tahu bahwa Kyai baru saja kehilangan dompet disikat pencopet.
"Kyai, Njenengan baru saja kecopetan!" kata santrinya memberitahu.
"Oh, ya?" jawab Kyai santai.
"Benar, Kyai. Tapi kami gagal menangkapnya! Keterlaluan betul pencopet itu!"
"Alhamdulillah.... Sudahlah kalian tidak perlu ribut-ribut. Saya bersyukur, yang dicopet itu saya!"
"Apa maksudnya Kyai?"
"Syukur....syukur..... Alhamdulillah. Karena saya yang dicopet, bukan saya yang jadi pencopetnya!"
Tentu saja para santri pada bengong mendengar jawaban Kyai.
"Kok bisa begitu Kyai?"
"Sekarang apa jawab kalian jika aku tanya, lebih baik mana, menjadi orang yang dicopet atau menjadi tukang copetnya?" tanya beliau kemudian.
Jawaban Kyai sungguh tak terbantahkan, masuk akal. Nuansa zuhud dan kesufian mengiringi ucapan-ucapan Kyai. Para santri yang menyertai beliu pada geleng-geleng kepala tanda paham. Dan para santripun mendapat pelajaran berharga yang belum pernah mereka jumpai dalam teori. Rupanya, dalam musibahpun bisa timbul rasa syukur, seperti yang sudah dicontohkan Kyai Arwani.
Suatu hari ketika bepergian, di saat beliau turun dari bus di terminal Terboyo Semarang, Kyai Arwani kecopetan. Entah sudah tahu atau memang pura-pura tidak tahu, Kyai Arwani tidak perduli jika baru saja kecopetan. Santri yang mendampingi dan tahu kejadian kecopetan terkejut, seketika itu pula mereka pada mengejar pencopetnya.
"Copet...! Copet...!" teriaknya sambil mengejar. Suasana menjadi gaduh, serabutan, karena orang lain ikutan mengejar pencopet.
Tapi sayang, pencopetnya terlalu lincah berlari dan tampaknya cukup menguasai medan hingga gagal ditangkap. Para santri pada kecewa dan marah-marah pada pencopet yang sudah raib itu. Berani-beraninya si copet mengganggu sang Kyai, begitu kira-kira pikir mereka. Copetnya pun keterlaluan, tidak lihat-lihat siapa yang akan dijadikan korban. Dan tentu saja, pencopet tidak peduli hal itu. Mungkin yang diingat oleh pencopet adalah uang, uang dan uang. Bagi copet, siapa saja yang pegang uang, uang tetap bernilai uang. Yang juga tak kalah mengherankan adalah Kyai Arwani, tidak perduli dengan apa yang barusan terjadi. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa pada dirinya. Tenang-tenang saja, sibuk dengan dzikirnya. Sampai-sampai santrinya harus memberi tahu bahwa Kyai baru saja kehilangan dompet disikat pencopet.
"Kyai, Njenengan baru saja kecopetan!" kata santrinya memberitahu.
"Oh, ya?" jawab Kyai santai.
"Benar, Kyai. Tapi kami gagal menangkapnya! Keterlaluan betul pencopet itu!"
"Alhamdulillah.... Sudahlah kalian tidak perlu ribut-ribut. Saya bersyukur, yang dicopet itu saya!"
"Apa maksudnya Kyai?"
"Syukur....syukur..... Alhamdulillah. Karena saya yang dicopet, bukan saya yang jadi pencopetnya!"
Tentu saja para santri pada bengong mendengar jawaban Kyai.
"Kok bisa begitu Kyai?"
"Sekarang apa jawab kalian jika aku tanya, lebih baik mana, menjadi orang yang dicopet atau menjadi tukang copetnya?" tanya beliau kemudian.
Jawaban Kyai sungguh tak terbantahkan, masuk akal. Nuansa zuhud dan kesufian mengiringi ucapan-ucapan Kyai. Para santri yang menyertai beliu pada geleng-geleng kepala tanda paham. Dan para santripun mendapat pelajaran berharga yang belum pernah mereka jumpai dalam teori. Rupanya, dalam musibahpun bisa timbul rasa syukur, seperti yang sudah dicontohkan Kyai Arwani.
Minggu, 02 Mei 2010
Syaikhona Cholil Puasa Gula
Syaikhona KH. Cholil, kyai masyhur dan alim dari Bangkalan Madura, kedatangan tamu seorang bapak dari desa. Maksud kedatangan tamu tersebut adalah mengeluhkan perihal anaknya yang suka makan gula.
"Anak saya tidak mau berhenti makan gula, Kyai. Sudah tidak terhitung lagi saya menasehatinya agar mau berhenti makan gula!" kata tamu itu mengeluhkan anaknya.
"Jajanan anak saya, jika tidak permen ya pasti gula, Kyai," orang itu melanjutkan. "Tolong saya diberi sesuatu sebagai obat agar anakku mau berhenti makan gula, Kyai! Saya takut ia akan penyakitan karena kebanyakan makan gula!"
Demi mendengar keluhan tamunya itu, Kyai berpikir juga. Keluhan tamunya itu tampaknya memang sepele, yaitu mencari cara untuk mengatasi anaknya yang bandel, yang suka makan gula. Tampaknya Kyai menanggapinya dengan serius.
"Bapak ini setiap hari hanya minum air?" tanya Kyai tiba-tiba.
Sang tamu merasa terkejut ditanya demikian.
"Tidak Kyai! Kadang minum kopi, kadang minum teh!"
"Pakai gula?"
"Tentu saja Kyai!" di hati Bapak itu terasa geli juga mendengar pertanyaan Kyai Cholil. Kira-kira apa ya hubungannya?
Hening sejenak. Sesaat kemudian : "Begini, Bapak pulang saja dulu, tiga hari lagi kesini bersama anak Bapak!"
Tanda tanya memenuhi benak sang bapak, ia berpikir kenapa tidak diberi doa atau mungkin segelas air yang sudah dibacakan doa untuk pengobatan anaknya? Begitu sulitkah bagi Kyai?
Tiga hari berlalu, orang dari desa itu datang lagi menghadap Kyai Cholil bersama anaknya yang suka makan gula itu.
Setelah anaknya dihadapkan pada Kyai Cholil, bukannya diberi do'a malah dinasehati.
"Nak, kamu jangan suka makan gula lagi ya?" Nasehat Kyai pada anak itu seperti ketika menasehati cucunya sendiri.
"Iya Kyai!" jawab anak itu patuh. Terasa di hati bocah itu seperti tengah disiram air pegunungan yang sejuk, menyegarkan. Indah pula rasanya dihati.
Setelah itu Kyai tidak berbuat apa-apa lagi. Bahkan bercengkerama dengan sang anak dengan menghujani pertanyaan-pertanyaan tentang dunia anak. Lama-lama hati sang Bapak gundah juga. Ia berprasangka, sepertinya Kyai Cholil tidak berusaha 'mengobati' anaknya.
"Sudah begitu saja Kyai?" tanya sang Bapak kemudian.
"Iya Pak. Saya kira saya sudah menuruti kemauan Bapak. Saya sudah menasehati anak Bapak agar tidak hobi makan gula lagi!" Jawab Kyai.
Lagi-lagi jawaban Kyai membuat sang bapak itu makin terheran-heran.
"Kyai, kenapa anak saya hanya diberi nasehat begitu saja?" tanyanya. "Jika hanya nasehat, saya sendiri sebagai ayahnya sudah tak terhitung lagi menasehatinya!"
"Itulah masalahnya!"
"Maksud Kyai?"
"Saya jelaskan ya Pak, kenapa sampeyan saya suruh pulang dulu dan baru tiga hari kemudian saya minta kembali. Karena saya berdoa dan berpuasa selama tiga hari itu dengan tidak makan gula, agar ketika menasehati anakmu omongan saya bisa dipercaya!" jawab Kyai.
Rupanya jawaban Kyai yang terakhir bikin mulut orang itu tercekat. Tak sepatah katapun yang bisa diucapkan lagi. Dia tidak habis pikir, sampai seperti itu Kyai Cholil yang hendak menasehati anaknya? Harus dirinya dulu yang menjalani nasehatnya dengan bersusah payah berdo'a, berpuasa selama tiga hari sebelum disampaikan kepada si anak. Orang sekaliber Kyai Cholil saja, yang terkenal dengan ilmu nahwu, fiqih dan tasawuf itu masih harus 'tirakat' untuk sekedar berucap satu kalimat. Kedekatannya kepada Allah SWT sungguh luar biasa, sehingga setiap langkahnya selalu bernuansa dzikrullah, ingat Allah.
Akhirnya tamu itu pulang dengan membawa cerita keteladanan sang Kyai. Kenyataannya memang, sang anak langsung sembuh alias tidak lagi suka makan gula.
(Dari Ceramah Ustadz Syaikhu, diceritakan kembali oleh Ali Shodiqin, 1998)
"Anak saya tidak mau berhenti makan gula, Kyai. Sudah tidak terhitung lagi saya menasehatinya agar mau berhenti makan gula!" kata tamu itu mengeluhkan anaknya.
"Jajanan anak saya, jika tidak permen ya pasti gula, Kyai," orang itu melanjutkan. "Tolong saya diberi sesuatu sebagai obat agar anakku mau berhenti makan gula, Kyai! Saya takut ia akan penyakitan karena kebanyakan makan gula!"
Demi mendengar keluhan tamunya itu, Kyai berpikir juga. Keluhan tamunya itu tampaknya memang sepele, yaitu mencari cara untuk mengatasi anaknya yang bandel, yang suka makan gula. Tampaknya Kyai menanggapinya dengan serius.
"Bapak ini setiap hari hanya minum air?" tanya Kyai tiba-tiba.
Sang tamu merasa terkejut ditanya demikian.
"Tidak Kyai! Kadang minum kopi, kadang minum teh!"
"Pakai gula?"
"Tentu saja Kyai!" di hati Bapak itu terasa geli juga mendengar pertanyaan Kyai Cholil. Kira-kira apa ya hubungannya?
Hening sejenak. Sesaat kemudian : "Begini, Bapak pulang saja dulu, tiga hari lagi kesini bersama anak Bapak!"
Tanda tanya memenuhi benak sang bapak, ia berpikir kenapa tidak diberi doa atau mungkin segelas air yang sudah dibacakan doa untuk pengobatan anaknya? Begitu sulitkah bagi Kyai?
Tiga hari berlalu, orang dari desa itu datang lagi menghadap Kyai Cholil bersama anaknya yang suka makan gula itu.
Setelah anaknya dihadapkan pada Kyai Cholil, bukannya diberi do'a malah dinasehati.
"Nak, kamu jangan suka makan gula lagi ya?" Nasehat Kyai pada anak itu seperti ketika menasehati cucunya sendiri.
"Iya Kyai!" jawab anak itu patuh. Terasa di hati bocah itu seperti tengah disiram air pegunungan yang sejuk, menyegarkan. Indah pula rasanya dihati.
Setelah itu Kyai tidak berbuat apa-apa lagi. Bahkan bercengkerama dengan sang anak dengan menghujani pertanyaan-pertanyaan tentang dunia anak. Lama-lama hati sang Bapak gundah juga. Ia berprasangka, sepertinya Kyai Cholil tidak berusaha 'mengobati' anaknya.
"Sudah begitu saja Kyai?" tanya sang Bapak kemudian.
"Iya Pak. Saya kira saya sudah menuruti kemauan Bapak. Saya sudah menasehati anak Bapak agar tidak hobi makan gula lagi!" Jawab Kyai.
Lagi-lagi jawaban Kyai membuat sang bapak itu makin terheran-heran.
"Kyai, kenapa anak saya hanya diberi nasehat begitu saja?" tanyanya. "Jika hanya nasehat, saya sendiri sebagai ayahnya sudah tak terhitung lagi menasehatinya!"
"Itulah masalahnya!"
"Maksud Kyai?"
"Saya jelaskan ya Pak, kenapa sampeyan saya suruh pulang dulu dan baru tiga hari kemudian saya minta kembali. Karena saya berdoa dan berpuasa selama tiga hari itu dengan tidak makan gula, agar ketika menasehati anakmu omongan saya bisa dipercaya!" jawab Kyai.
Rupanya jawaban Kyai yang terakhir bikin mulut orang itu tercekat. Tak sepatah katapun yang bisa diucapkan lagi. Dia tidak habis pikir, sampai seperti itu Kyai Cholil yang hendak menasehati anaknya? Harus dirinya dulu yang menjalani nasehatnya dengan bersusah payah berdo'a, berpuasa selama tiga hari sebelum disampaikan kepada si anak. Orang sekaliber Kyai Cholil saja, yang terkenal dengan ilmu nahwu, fiqih dan tasawuf itu masih harus 'tirakat' untuk sekedar berucap satu kalimat. Kedekatannya kepada Allah SWT sungguh luar biasa, sehingga setiap langkahnya selalu bernuansa dzikrullah, ingat Allah.
Akhirnya tamu itu pulang dengan membawa cerita keteladanan sang Kyai. Kenyataannya memang, sang anak langsung sembuh alias tidak lagi suka makan gula.
(Dari Ceramah Ustadz Syaikhu, diceritakan kembali oleh Ali Shodiqin, 1998)
Jumat, 23 April 2010
GUS DUR: JIKA KIAI KAYA MENDADAK
"Gus saya hari ini sedang kaya mendadak!" kata seorang tokoh Kyai di pelosok desa kepada Gus Dur. Saat itu Gus Dur tengah turun ke bawah bersilaturrahim dengan umat di akar rumput, termasuk menemui sahabatnya tadi.
"Memangnya apa yang sampeyan peroleh?" tanya Gus Dur penasaran.
"Hari ini saya motong ayam sampai 18 ekor. Biasanya hanya 1 sampai 3 ekor. Jika motong satu ekor, saya dapat kepalanya. Berarti saya telah mendapat 18 kepala ayam!"
"Hanya itu?"
"Masih ada lagi! Saya dapat sebuah sarung dan uang sebesar tujuh belas ribu rupiah!"
Gus Dur bengong. Cuma dapat segitu saja sudah merasa kaya? Herannya Gus Dur. Itu pasti karena keikhlasan sang kyai desa tadi sehingga biar dapat sedikit sudah merasa kaya. Hatinya penuh syukur kepada Tuhan.
"Memangnya apa yang sampeyan peroleh?" tanya Gus Dur penasaran.
"Hari ini saya motong ayam sampai 18 ekor. Biasanya hanya 1 sampai 3 ekor. Jika motong satu ekor, saya dapat kepalanya. Berarti saya telah mendapat 18 kepala ayam!"
"Hanya itu?"
"Masih ada lagi! Saya dapat sebuah sarung dan uang sebesar tujuh belas ribu rupiah!"
Gus Dur bengong. Cuma dapat segitu saja sudah merasa kaya? Herannya Gus Dur. Itu pasti karena keikhlasan sang kyai desa tadi sehingga biar dapat sedikit sudah merasa kaya. Hatinya penuh syukur kepada Tuhan.
KH. MASYKURI CHUDLORI: PENGABDIAN TOTAL HINGGA AKHIR HAYAT
KH Masykuri Chudlori, Wakil Ketua Tanfidziyah PWNU Jawa Tengah pernah berujar: "......saya ingin NU adalah pengabdian awal dan akhir bagi saya."
Kyai sepuh yang sudah berusia 70 tahunan namun masih energik ini, betah berminggu-minggu menunggui kantor PWNU Jawa Tengah yang tengah direnovasi. Memang Kyai Masykuri tengah diamanati untuk mengawasi jalannya pembangunan. Selama itu pula beliau nyaris jarang pulang. Kesehariannya dihabiskan bersama para tukang dan pekerja bangunan.
Rupanya, harapannya untuk mengabdi pada agama hingga akhir hayat terkabul. Kyai Masykuri meninggal di Kantor NU dalam keadaan tengah menjalankan amanat NU, tepatnya pada siang hari usai sholat Jum'at!
Kyai sepuh yang sudah berusia 70 tahunan namun masih energik ini, betah berminggu-minggu menunggui kantor PWNU Jawa Tengah yang tengah direnovasi. Memang Kyai Masykuri tengah diamanati untuk mengawasi jalannya pembangunan. Selama itu pula beliau nyaris jarang pulang. Kesehariannya dihabiskan bersama para tukang dan pekerja bangunan.
Rupanya, harapannya untuk mengabdi pada agama hingga akhir hayat terkabul. Kyai Masykuri meninggal di Kantor NU dalam keadaan tengah menjalankan amanat NU, tepatnya pada siang hari usai sholat Jum'at!
KH. CHOLIL BANGKALAN: "Katakan Saja, Kamu Santri Saya"
Syaichona Cholil Bangkalan memang terkenal waliyullah. Pernah suatu ketika muridnya ada yang meninggal dunia. Sebagai seorang guru besar, beliau menyempatkan untuk ta'ziyah dan bahkan beliu sendiri yang menalqini muridnya itu.
Uniknya, talqin yang diucapkan Kyai tidak seperti yang biasa diucapkan oleh Pak Modin, panjang lebar dan berbahasa Arab.
Kata Kyai Cholil di dekat batu nisan hanya berucap : "Hai mayyit, jika ditanya malaikat, katakan saja bahwa kamu santri saya!" seraya menyentuh nisan dihadapannya.
Uniknya, talqin yang diucapkan Kyai tidak seperti yang biasa diucapkan oleh Pak Modin, panjang lebar dan berbahasa Arab.
Kata Kyai Cholil di dekat batu nisan hanya berucap : "Hai mayyit, jika ditanya malaikat, katakan saja bahwa kamu santri saya!" seraya menyentuh nisan dihadapannya.
KH. SAHAL MAHFUDZ KAJEN: Antara 'Dawuh' dan 'Maqolah'
Dalam dunia perpolitikan, lembaga manapun termasuk NU akan bersusah payah menempatkan lembaga pada posisi netral, tidak memihak salah satu kontestan manapun. Namun, tidaklah mudah menjelaskan kepada umat, terutama umat pers, bahwa NU itu netral. Puncaknya adalah ketika Pemilu tahun 2004.
Untuk menegaskan bahwa NU netral dalam hal ini, maka dikeluarkanlah pernyataan sikap langsung dari pimpinan tertinggi di NU yaitu Rais 'Am PBNU, KHA. Sahal Mahfudz.
Rupanya pernyataan sikap yang dilontarkan sekali saja tidaklah cukup, terbukti untuk semakin menegaskan akan kenetralan NU, agar orang tidak lagi banyak bertanya-tanya, Kyai Sahal perlu menyampaikan pernyataan sikap itu secara berkali-kali. Hingga puncaknya sikap itu kembali dibacakan di sebuah acara yang bertajuk Silaturrahim bersama Rais 'Am NU dan Do'a bersama untuk Indonesia yang diselenggarakan oleh KHA. Mustofa Bisri dan KH. Muadz Thohir di Pondok Pesantren Hamdalah Kemadu Rembang asuhan Kyai Alhamdulillah, KH. Syahid.
Ketika tengah memberikan sambutan sebagai penyelenggara, Gus Mus berujar, jika dengan Kyai-Kyai lain mereka masih kurang percaya, maka setidaknya dengan Pimpinan Tertinggi NU, yaitu Rais 'Am NU KHA. Sahal Mahfudz, mesti harus dipercaya.
"Jika tidak lagi percaya dengan Pimpinan Tertinggi NU, berarti sudah tidak percaya pada NU. Jika demikian adanya, silahkan saja keluar dari NU, toh ormas masih banyak. NU tidak akan mati ditinggalkan umatnya!" kata Gus Mus dengan nada prihatin.
Dalam acara silaturrahim itu, Kyai Sahal enggan bicara langsung, tapi mesti membaca naskah. Kata beliau, takut salah ucap hingga akibatnya bisa ditafsirkan macam-macam oleh orang banyak terutama media massa yang justru akan menambah masalah.
Naskah pernyataan sikap yang dibacakan langsung oleh Kyai Sahal, yang juga dibagikan kepada pengunjung dalam bentuk buku kecil, pada alenia kelima tertulis :
".....Namun mungkin karena luasnya dampak persoalan ini dan besarnya ghierah kalian terhadap NU dan warganya, terhadap Indonesia dan rakyatnya, kalian memerlukan 'dawuh' saya selaku Rais 'Am. Maka saya sebagai khadam dan pelayan kalian sudah semestinya menuruti permintaan kalian"
Jika dicermati, ternyata ada yang unik dalam ucapan beliau yang mencerminkan betapa tawadhu'nya Kyai Sahal Mahfudz. Itu bisa dilihat ketika sampai pada kata-kata :
"...kalian memerlukan 'dawuh' saya selaku Rais 'Am....!"
Yang terucap dari lisan Kyai Sahal justru berbeda, yaitu :
"....kalian memerlukan 'maqolah' saya selaku Rais 'Am."
Untuk menegaskan bahwa NU netral dalam hal ini, maka dikeluarkanlah pernyataan sikap langsung dari pimpinan tertinggi di NU yaitu Rais 'Am PBNU, KHA. Sahal Mahfudz.
Rupanya pernyataan sikap yang dilontarkan sekali saja tidaklah cukup, terbukti untuk semakin menegaskan akan kenetralan NU, agar orang tidak lagi banyak bertanya-tanya, Kyai Sahal perlu menyampaikan pernyataan sikap itu secara berkali-kali. Hingga puncaknya sikap itu kembali dibacakan di sebuah acara yang bertajuk Silaturrahim bersama Rais 'Am NU dan Do'a bersama untuk Indonesia yang diselenggarakan oleh KHA. Mustofa Bisri dan KH. Muadz Thohir di Pondok Pesantren Hamdalah Kemadu Rembang asuhan Kyai Alhamdulillah, KH. Syahid.
Ketika tengah memberikan sambutan sebagai penyelenggara, Gus Mus berujar, jika dengan Kyai-Kyai lain mereka masih kurang percaya, maka setidaknya dengan Pimpinan Tertinggi NU, yaitu Rais 'Am NU KHA. Sahal Mahfudz, mesti harus dipercaya.
"Jika tidak lagi percaya dengan Pimpinan Tertinggi NU, berarti sudah tidak percaya pada NU. Jika demikian adanya, silahkan saja keluar dari NU, toh ormas masih banyak. NU tidak akan mati ditinggalkan umatnya!" kata Gus Mus dengan nada prihatin.
Dalam acara silaturrahim itu, Kyai Sahal enggan bicara langsung, tapi mesti membaca naskah. Kata beliau, takut salah ucap hingga akibatnya bisa ditafsirkan macam-macam oleh orang banyak terutama media massa yang justru akan menambah masalah.
Naskah pernyataan sikap yang dibacakan langsung oleh Kyai Sahal, yang juga dibagikan kepada pengunjung dalam bentuk buku kecil, pada alenia kelima tertulis :
".....Namun mungkin karena luasnya dampak persoalan ini dan besarnya ghierah kalian terhadap NU dan warganya, terhadap Indonesia dan rakyatnya, kalian memerlukan 'dawuh' saya selaku Rais 'Am. Maka saya sebagai khadam dan pelayan kalian sudah semestinya menuruti permintaan kalian"
Jika dicermati, ternyata ada yang unik dalam ucapan beliau yang mencerminkan betapa tawadhu'nya Kyai Sahal Mahfudz. Itu bisa dilihat ketika sampai pada kata-kata :
"...kalian memerlukan 'dawuh' saya selaku Rais 'Am....!"
Yang terucap dari lisan Kyai Sahal justru berbeda, yaitu :
"....kalian memerlukan 'maqolah' saya selaku Rais 'Am."
KH. ABDURROHMAN WAHID: Walinya Gus Dur
Ada maqolah yang mengatakan bahwa : "Laa ya'riful waali illal waalii" yang artinya kurang lebih: Orang tidak akan tahu tentang kewalian seseorang kecuali orang itu sendiri adalah wali Allah.
Ada wali Allah yang memang kelihatan wali, ada pula yang selama hidupnya tidak menampakkan seorang wali, atau baru ketahuan sebagai wali Allah ketika sudah meninggal dunia.
Umumnya orang menganggap seseorang itu sebagai wali Allah karena terkaan saja. Hal itu timbul karena banyak orang yang terlalu mengagumi karena kehebatannya dalam beribadah, ilmunya atau kejadian-kejadian aneh yang mendukung kewalian seseorang. Atau menirukan ucapan orang lain yang dianggap lebih tahu tentang walinya seseorang, walaupun sesungguhnya belum tentu ucapannya itu 100% benar. Repotnya.... yang bercerita tentang kewalian seseorang itu sendiri belum tentu wali.
Menurut KHA. Mustofa Bisri, jika ada orang yang merasa dekat dengan Allah dan merasa sebagai Wali Allah, berarti orang itu 'Wali Kesiangan'. Justru seorang Wali sungguhan itu tidak merasa bahwa dirinya adalah Wali.
Berbicara soal wali ini, Gus Dur adalah termasuk tokoh yang dianggap sebagai wali oleh umatnya.
Menjelang Pemilihan Presiden 1999 di MPR, Gus Dur didengung-dengungkan orang sebagai seorang Wali Allah. Syahdan, Gus Dur berhasil jadi presiden. Gaung kewalian Gus Dur kian menggema. Sampai-sampai Kang Sobari yang juga karibnya Gus Dur bertanya langsung kepada yang bersangkutan.
"Gus, anda dianggap orang sebagai Wali Allah, bagaimana menurut Gus Dur?" tanya Kang Sobari.
"Orang yang menganggap saya itu wali Allah, berarti orang itu tidak bertanggung jawab!" jawab Gus Dur sambil terkekeh.
Ada wali Allah yang memang kelihatan wali, ada pula yang selama hidupnya tidak menampakkan seorang wali, atau baru ketahuan sebagai wali Allah ketika sudah meninggal dunia.
Umumnya orang menganggap seseorang itu sebagai wali Allah karena terkaan saja. Hal itu timbul karena banyak orang yang terlalu mengagumi karena kehebatannya dalam beribadah, ilmunya atau kejadian-kejadian aneh yang mendukung kewalian seseorang. Atau menirukan ucapan orang lain yang dianggap lebih tahu tentang walinya seseorang, walaupun sesungguhnya belum tentu ucapannya itu 100% benar. Repotnya.... yang bercerita tentang kewalian seseorang itu sendiri belum tentu wali.
Menurut KHA. Mustofa Bisri, jika ada orang yang merasa dekat dengan Allah dan merasa sebagai Wali Allah, berarti orang itu 'Wali Kesiangan'. Justru seorang Wali sungguhan itu tidak merasa bahwa dirinya adalah Wali.
Berbicara soal wali ini, Gus Dur adalah termasuk tokoh yang dianggap sebagai wali oleh umatnya.
Menjelang Pemilihan Presiden 1999 di MPR, Gus Dur didengung-dengungkan orang sebagai seorang Wali Allah. Syahdan, Gus Dur berhasil jadi presiden. Gaung kewalian Gus Dur kian menggema. Sampai-sampai Kang Sobari yang juga karibnya Gus Dur bertanya langsung kepada yang bersangkutan.
"Gus, anda dianggap orang sebagai Wali Allah, bagaimana menurut Gus Dur?" tanya Kang Sobari.
"Orang yang menganggap saya itu wali Allah, berarti orang itu tidak bertanggung jawab!" jawab Gus Dur sambil terkekeh.
GUS DUR: Suka Tidur Saat Rapat
Semua orang maklum, Gus Dur tidak pernah mau berhenti beraktivitas. Ketika masih menjabat Ketua Umum PBNU, Presiden RI, Ketua Dewan Syuro PKB, Gus Dur tak henti-hentinya berakrtivitas. Beliau sering keluar masuk kampung, pesantren hingga ke seluruh pelosok negeri. Dan Gus Dur pun jarang capek. Padahal menurut ajudannya, Gus Dur tidak pernah minum jamu. Hal itu dibenarkan oleh istrinya, Ibu Hj. Sinta Nuriyah. Pernah seseorang menanyakan langsung kepada Gus Dur dan orang-orang dekatnya, apa kiatnya agar Gus Dur kuat dalam bekerja.
Rupanya, menurut pengakuan Gus Dur kiatnya adalah makan dan tidur yang cukup. Jika merasa mengantuk, Gus Dur seketika itu pula akan tidur, meskipun dalam rapat. Rupanya, inilah jawaban terhadap pertanyaan banyak orang tentang mengapa Gus Dur seringkali tertidur pada saat berlangsungnya suatu acara, sekalipun acara itu sangat penting.
"Kalau ingin tidur, ya tidur saja. Kok mekso-mekso," cetusnya suatu ketika.
Rupanya, menurut pengakuan Gus Dur kiatnya adalah makan dan tidur yang cukup. Jika merasa mengantuk, Gus Dur seketika itu pula akan tidur, meskipun dalam rapat. Rupanya, inilah jawaban terhadap pertanyaan banyak orang tentang mengapa Gus Dur seringkali tertidur pada saat berlangsungnya suatu acara, sekalipun acara itu sangat penting.
"Kalau ingin tidur, ya tidur saja. Kok mekso-mekso," cetusnya suatu ketika.
KH. SAHAL MAHFUDZ KAJEN: Menguji Kesabaran Santri
Peribahasa mengatakan : "Diam adalah emas." Tapi diam bisa juga ujian. Itulah yang dialami oleh sopir Kyai Sahal Mahfudz yang juga santrinya itu.
Suatu ketika, Kyai Sahal melakukan perjalanan selama empat jam menuju Semarang, namun selama itu pula Kyai Sahal hanya diam saja. Tidak ngomong sedikitpun, atau hanya sekedar bertegur sapa untuk memecah kesunyian. Tentu saja sikap Kyai yang diam itu bikin salah tingkah sopir yang tampaknya masih baru itu. Untunglah sang sopir sabar, hingga selama perjalanan tak terjadi apa-apa.
Sesampai di rumah, si sopir segera menemui salah satu santri senior untuk menanyakan perihal diamnya Kyai Sahal. "Itu artinya, kamu diuji kesabaranmu!"
"Oo...?!" ternyata hanya dengan diam bisa menguji kesabaran orang lain.
Suatu ketika, Kyai Sahal melakukan perjalanan selama empat jam menuju Semarang, namun selama itu pula Kyai Sahal hanya diam saja. Tidak ngomong sedikitpun, atau hanya sekedar bertegur sapa untuk memecah kesunyian. Tentu saja sikap Kyai yang diam itu bikin salah tingkah sopir yang tampaknya masih baru itu. Untunglah sang sopir sabar, hingga selama perjalanan tak terjadi apa-apa.
Sesampai di rumah, si sopir segera menemui salah satu santri senior untuk menanyakan perihal diamnya Kyai Sahal. "Itu artinya, kamu diuji kesabaranmu!"
"Oo...?!" ternyata hanya dengan diam bisa menguji kesabaran orang lain.
KH. SYAHID KEMADU: Lahirnya Pesantren Hamdalah
Jika orang pernah ketemu Kyai Syahid Kemadu Rembang, pasti akan disuguhi oleh ucapan beliau yang sedikit-sedikit berucap hamdalah, setiap jam, setiap menit, bahkan setiap beberapa detik, selalu saja berucap : "Alhamdulillah....Alhamdulillah....."
Yang berbeda adalah dari cara beliau mengucapkan hamdalah. Anda akan merasakan muatan syukur yang dalam dari cara beliau melafalkannya, demikian komentar Kyai Mustofa Bisri suatu ketika.
Kyai Syahid adalah pengasuh pesantren yang sejak berdiri tak diberi nama. Tentu banyak yang menanyakan apa sesungguhnya nama pesantren yang oleh kalangan santri disebut 'Pondok Kemadu' itu. Pada sebuah kesempatan di hadapan santri-santrinya, dengan penuh kerendahan hati beliau berkata : "Wong pesantren segitu saja kok diberi nama!"
Karena saking terkenalnya beliau berucap Alhamdulillah, disisi lain orang ingin tahu nama pesantren tersebut. Akhirnya (menurut cerita KH Faqih Mlagen Pamotan, ketika mengisi ceramah di Ponpes As Syatibiyah Kauman Rembang, April 2010), KH Cholil Bisri memberi solusi dengan menyebut pesantren Alhamdulillah saja. Maka oleh banyak kalangan disebutlah pesantren Kyai Syahid dengan sebutan Pesantren Hamdalah.
Yang berbeda adalah dari cara beliau mengucapkan hamdalah. Anda akan merasakan muatan syukur yang dalam dari cara beliau melafalkannya, demikian komentar Kyai Mustofa Bisri suatu ketika.
Kyai Syahid adalah pengasuh pesantren yang sejak berdiri tak diberi nama. Tentu banyak yang menanyakan apa sesungguhnya nama pesantren yang oleh kalangan santri disebut 'Pondok Kemadu' itu. Pada sebuah kesempatan di hadapan santri-santrinya, dengan penuh kerendahan hati beliau berkata : "Wong pesantren segitu saja kok diberi nama!"
Karena saking terkenalnya beliau berucap Alhamdulillah, disisi lain orang ingin tahu nama pesantren tersebut. Akhirnya (menurut cerita KH Faqih Mlagen Pamotan, ketika mengisi ceramah di Ponpes As Syatibiyah Kauman Rembang, April 2010), KH Cholil Bisri memberi solusi dengan menyebut pesantren Alhamdulillah saja. Maka oleh banyak kalangan disebutlah pesantren Kyai Syahid dengan sebutan Pesantren Hamdalah.
Langganan:
Postingan (Atom)